Jumat, 15 April 2011

PERKEMBANGAN ILMU HUKUM DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU


BAB I
PENDAHULUAN
Manusia dalam masyarakat memerlukan perlindungan kepentingan, yang tercapai dengan terciptanya pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana seharusnnya manusia itu betingkah laku dalam masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Pedoman tersebut merupakan patokan atau ukuran berperilaku atau bersikap dalam kehidupan bersama yang kemudian disebut kaidah sosial, yang pada hakekatnya merupakan rumusan pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnnya dilakukan atau tidak, yang dianjurkan maupun yang dilarang untuk dijalankan. Dengan kaidah sosial hendak dicegah gangguan-gangguan maupun konflik kepentingan manusia, sehingga diharap manusia dapat terlindungi kepentingan- kepentingannya. Kaidah keagamaan ditujukan kepada kehidupan beriman manusia terhadap kewajibannya terhadap tuhan dan dirinya sendiri. Sumbernya adalah ajaran-ajaran agama yang oleh pengikutnya dianggap sebagai perintah tuhan sehingga sanksinya pun berasal dari tuhan.
Kaidah kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai individu yang bersangkutan dengan kehidupan pribadinya, terutama mengenai nurani individu manusia tersebut dan bukan sebagai mahluk sosial atau sebagai anggota masyarakat. Fungsinya untuk melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi dan mencegah kegelisahan diri sendiri dengan tujuan agar terbentuk kebaikan ahlak pribadi manusia serta menyempurnakannya agar tidak berbuat jahat. Kaidah kesopanan didasarkan pada kebiasaan kepatutan atau kepantasan yang berlaku dalam masyarakat. Ditujukan terhadap sikap lahir pelakunya yang konkrit demi penyempurnaan/ketertiban masyarakat dan bertujuan menciptakan perdamaian, tata tertib atau membuat sedap lalu lintas antar manusia yang bersifat lahiriah dengan mementingkan yang lahir atau yang formal. Sanksinya bersifat tak resmi dari masyarakat yang berupa celaan atau cemoohan.
Ketiga kaidah sosial tersebut dirasakan kurang memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia sehingga manusia berharap kepada kaidah hukum untuk dapat melindungi lebih lanjut kepentingan-kepentingannya. Kaidah hukum lebih ditujukan kepada sikap lahir manusia dan bukan sikap batinnya. Pada hakekatnya apa yang dibatin, yang dipikirkan manusia tidak menjadi soal asalkan secara lahiriah tidak melanggar kaidah hukum. Asal kaidah hukum dari kekuasaan luar diri manusia yang memaksakan (heteronom) dan masyarakat secara resmi diberi kuasa untuk menjatuhkan sanksi melalui alat-alat negara.
Jika kaidah keagamaan, kesusilaan dan kesopanan hanya memberikan kewajiban-kewajiban (normatif) saja maka kaidah hukum selain membebani kewajiban-kewajiban juga memberikan hak-hak (atributif). Menurut Satjipto Raharjo kaidah hukum merupakan resultan dari tegangan antara norma kesusilaan dengan norma kebiasaan. Norma kesusilaan bersifat ideal sedangkan norma kebiasaan bersifat empirik dan norma hukum berada diantara keduanya. Hukum sebagai disiplin ilmu mengarahkan sasaran studinya terhadap kaidah atau norma yang menghasilkan ilmu tentang kaidah hukum (norm wissenschaft), terhadap pengertian-pengertian dalam hukum yang menghasilkan ilmu tentang pengertian hukum (begriffen wissenschaft), dan terhadap kenyataan-kenyataan dalam hukum yang menghasilkan ilmu tentang kenyataan hukum (sein wissenschaft). Bedasarkan latar belakang masalah yang menunjukkan keterkaitan erat antara hukum dengan masyarakat beserta sistem nilainya yang berlaku dan mengingat pula hukum sebagai disiplin ilmu, maka yang menjadi permasalahn dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah aspek ontology, epistemologis dan aksiologis dari bangunan ilmu hukum, terutama dalam konteks keindonesiaan dengan pluralisme hukumnya terutama dalam menjawab permasalahan pornografi?


















BAB II
HAKEKAT HUKUM DAN MASALAH PORNOGRAFI

A. Hakekat Hukum kajian Ontologis
Disiplin ilmu hukum dalam mengarahkan sasaran studinya terhadap kaidah atau norma (norm wissenschaft), maka akan dapat dibedakan antara kaidah dalam arti yang luas dengan asas-asas hukum dan norma (nilai) yang merupakan kaidah dalam arti yang sempit, serta peraturan hukum kongkrit.. Kaidah dalam arti yang luas adalah rumusan pandangan masyarakat pada umumnya (bukan rumusan pandangan kelompok atau individu) tentang apa yang baik yang seharusnya diperbuat dan apa yang buruk yang seharusnya tidak diperbuat, sehingga berisi rumusan pandangan yang merupakan amar makruf nahi mungkar.
Asas-asas hukum merupakan peraturan atau pedoman yang bersifat mendasar tentang bagaimana seharusnya orang berperilaku dan pedoman tersebut berupa pikiran dasar yang tersirat, berlaku umum, abstrak, mengenal pengecualian-pengecualian dan merupakan persangkaan (presumption) serta bersifat ideal mengingat manusia akan menemukan cita-citanya dengan asas hukum rersebut dan bersifat dinamis. Norma atau kaidah dalam arti yang sempit adalah nilai yang dapat kita gali atau temukan dari peraturan hukum kongkrit, sedangkan peraturan hukum kongkrit sendiri berupa pasal-pasal suatu peraturan perundang-undangan.. Sebagai contoh peraturan hukum kongkrit adalah Pasal 362 KUHP, maka asasnya adalah asas legalitas, norma atau nilai yang dapat kita gali adalah bahwa perbuatan mencuri itu merupakan perilaku yang buruk sehingga dilarang untuk dilakukan.
Sasaran studi ilmu hukum terhadap pengertian pengertian (begriffen wissenschaft) tidak diarahkan untuk mencari pengertian dari hukum itu sendiri, melainkan mencari pengertian-pengertian dari konsep-konsep yang terdapat dalam hukum baik itu konsep dasar (fundamental) maupun konsep-konsep operasional sebagai tindak lanjut dari konsep dasar. Misalnya saja tentang pengertian dari konsep peristiwa hukum, hubungan hukum, subyek hukum, manusia sebagai subyek hukum, badan hukum, hak dan kewajiban serta demikian seterusnya yang kemudian secara sistematik bangunan pengertian-pengertian tersebut akan membentuk ilmu hukum.
Sasaran studi ilmu hukum terhadap kenyataan-kenyataan yang terjadi di masyarakat (sein wissenschaft) akan melahirkan ilmu-ilmu hukum baru yang bersifat empirik yaitu sejarah hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di masa lampau), sosiologi hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di masa kini), antropologi hukum (terkait dengan nilai-nilai budaya masyarakat), psikologi hukum dan perbandingan hukum (bukan merupakan ilmu namun hanya sekedar memperbandingkan hukum yang masih berlaku dengan metodenya functional approach).
Selain kaidah sebagai sasaran studi ilmu hukum, sistem hukum dan penemuan hukum juga menjadi sasaran yang penting untuk dikaji . Sistem hukum adalah tatanan yang utuh yang didalamnya terdapat unsure-unsur pembentuk sistem yang masing-masing saling berinteraksi untuk mewujudkan tujuan dari sistem, serta tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi dalam diri sistem, namun jika terjadi konflik maka akan diatasi oleh dan didalam sistem hukum itu sendiri.
Penemuan hukum adalah menemukan hukumnya atau peraturannya karena tidak jelas, tidak lengkap atau tidak ada. Ketidak jelasan peraturan akan digunakan metode interpretasi atau penafsiran dengan jalan menafsirkan bagian peraturan yang tidak jelas. Ketidaklengkapan atau ketiadaan peraturan hukum akan digunakan metode argumentasi baik argumentum peranalogiam maupun argumentum acontrario, serta metode konstruksi hukum (penyempitan maupun penghalusan hukum) serta metode fiksi hukum, yaitu apa yang ada dianggap tiada dan sebaliknya apa yang tiada dianggap ada.
Proklamasi Kemerdekaan Negara RI yang dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah berhasil mendobrak sistem hukum kolonial dan menggantinya dengan sistem hukum nasional. Terlepas pro dan kontra antara kubu yang berpendapat bahwa saat ini kita telah memiliki sistem hukum nasional sendiri dan kubu yang berpendapat bahwa kita belum memiliki sistem hukum nasional sendiri karena sistem hukum yang ada ini masih merupakan warisan atau kelanjutan dari sistem hukum kolonial, maka penulis berpendapat bahwa sistem hukum itu bersifat historisch bestimmt (dinamis terkait dengan aspek-aspek kesejarahannya dan terikat dengan dimensi waktu dan tempatnya). Kita tidak dapat membangun sistem hukum nasional yang sama sekali baru karena sistem hukum itu bersifat given dan sistem hukum nasional yang telah ada, yang merupakan kelanjutan dari sistem hukum kolonial secara step by step akan dilakukan perbaikan-perbaikan dan perobahan-perobahan serta penyempurnaan-penyempurnaan untuk diselaraskan dan diserasika dengan Grundnorm kita, karena semenjak kemerdekaan RI kita telah mempunyai Undang-Undang Dasar Negara sendiri yaitu UUD Negara RI Tahun 1945 yang di dalamnya memuat dasar Negara RI yaitu Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dan dalam hirarki peraturan perundang-undangan Negara RI menempati kedudukan sebagai grundnorm. Demikian pula dalam operasionalisasi peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang masih berlaku karena ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD Negara RI Tahun 1945, terutama dalam pelaksanaannya di lembaga peradilan, hakim-hakim Indonesia telah menyesuaikan peraturan-peraturan warisan kolonial Belanda yang berjiwa materialistik, kapitalistik dan individualistik tersebut dengan Pancasila yang berjiwa monodualistik (asas keseimbangan).
Plularisme hukum sudah dikenal di Indonesia sejak jaman kolonial Belanda. Bahkan dilegalkan dengan pasal 131 I.S. (Indische Statsregeling) yang berisi ketentuan bahwa di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) berlaku 3 macam sistem hukum perdata yaitu:
1. Hukum perdata barat (Eropa).
2. Hukum pertdata Islam.
3. Hukum perdata Adat.
Saat ini di masa kemerdekaan plularisme hukum tersebut masih merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dan dalam pembangunan hukum sekarang yang bercorak modern melalui peraturan perundang-undangan hukum barat, hukum adat maupun hukum Islam saling berebut pengaruh untuk mewarnai pembangunan hukum nasional tersebut dalam berbagai bidang melalui proses legislasi nasional.
Hukum barat yang bercorak kapitalistik dan individualistik memiliki dasar ontologis monisme yaitu materialisme,bahwa hakekat dari kenyataan yang ada yang beraneka ragam itu semua berasal dari materi atau benda yaitu sesuatu yang berbentuk dan menempati ruang serta kedudukan nilai benda/badan/materi adalah lebih tinggi daripada roh/sukma/jiwa/spirit.
Hukum Islam yang memberikan kostribusi terhadap pembangunan hukum nasional bukanlah hukum Islam yang bersifat universal yang meliputi peraturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif, melainkan sebatas hukum Islam yang menyangkut aspek keperdataan tertentu saja. Itulah yang menjadi hukum yang hidup (living law) dan selebihnnya seperti aturan-aturan yang menyangkut aspek peribadatan dan lain sebagainya masih belum menjadi hukum yang hidup dimasyarakat melainkan masih merupakan moral positif meskipun masyarakat telah menjalankan secara nyata dalam kehidupannya sehari-hari.
Dasar ontologis dari hukum Islam bersifat monisme yaitu idealisme atau spiritualisme, bahwa hakekat dari kenyataan yang ada yang beraneka ragam itu semua berasal dari roh/sukma/jiwa, yaitu sesuatu yang bersifat ghoib yang tidak berbentuk dan tidak menempati ruang serta kedudukan nilai roh adalah lebih tinggi daripada nilai benda/materi/badan.
Hukum adat yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan hukum nasional adalah hukum adat yang diketahui sepanjang masih merupakan hukum yang hidup(living law) dalam masyarakat dan yang masih sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Dasar ontologis dari hukum adat adalah bersifat dualisme bahkan pluralisme, apalagi dengan mengingat sifat hukum adat itu yang magis religius. Hakikat dari kenyataan yang ada sumber asalinya berupa baik materi maupun rohani yang masing-masing bersifat bebas dan mandiri dan bahkan segala macam bentuk merupakan kenyataan. Hal tersebut berkaitan erat dengan banyaknya wilayah atau daerah hukum adat (Rechtskringen) di Indonesia dan bahkan menurut catatan Van Vollen Hoven terdapat 19 daerah hukum adat, sehingga keberadaan hukum adat sendiri di Indonesia sudah bersifat pluralistik.

B. Masalah Pornografi
Problem hukum dan moralitas merupakan subyek perdebatan yang hangat dikalangan pengacara di Inggris, setelah adanya keputusan daro House of Lords dari kasus tuan Shaw melawan the Director of public Prosecution pada tahun 1962. tuan Shaw telah menyusun seuah brosur yang berjudul “ladies Director” yang mendaftar nama-nama dan alamat-alamat pelacuran termasuk fotografi telanjang dan petunjuk singkat dari praktekpraktek seksual mereka yang khusus.
Terlepas dari kesalahan karena menerbitkan artikel cabul, tuan Shaw juga dihukum karena pelanggaran bersekongkol merusak moral masyarakat. Ini merupaka formulasi pelanggaran terakhir yang dilakukan oleh para ahli hukum inggris yang mendorong adanya diskusi tentang pertanyaan-pertanyaan yang fundamental: apakah ini merupakan fungsi hukum untuk menyelenggarakan ukuran-ukuran moralitas konvensional dengan menghukum penyimpagan-penyimpangan darinya; khususnya dalam kasus imoralitas seksual secara pribadi yang tidak ada alasan merugikan atau melanggar orang lain.
Hukum islam memasukkan prinsip pelaksanaan moralitas seksual yang keras, hal itu menjelaskan tentang hukuman yang ditetapkan bagi pelanggaran zina. Menurut hukum ingris hubungan seksual di luar perkawinan bukan merupakan pelanggaran hukum kecuali kalau diperburuk oleh keadaan seperti tidak adanya ersetujuan antara keduanya, seorang gadis muda usia, ada hubungan darah dengan orang yang bersangkutan, atau tingkah laku yang tidak alami, sama dengan pelanggaran kriminal karena perkosaan, berzina dengan saudaranya, sodomi. Begitu juga hukum di indonesia. Yang mengatakan bahwa hubungan seksual antara laki-laki dan perenpuan yang keduanya atau salah satunya belum terikat tali perkawinan tidak dikatakan zina. Dilain pihak hukum islam menganggap hubungan seksual bentuk apapun adalah merupakan kejahatan kecuali kalau hal itu antara suami dan istri atau masa lalu antara tuan dan selir budaknya.
Dalam sumber material primer syariah Al-Qur’an, tidak ada pembedaan yang jelas dan konsisten antara moral dan peraturan hukum. Seperti rumusan etika dalam hukum islam, Al-Qur’an menetapkan masalah-masalah pokok untuk membedakan yang benar dari yang salah, baik buruk, pantas dan tidak pantas, atau biasanya hal itu tidak diteruskan pada tingkat skunder menyangkut norma-norma tingkah laku dengan konsekuensi hukum. Dalam beberapa kasus , memang benar , sanksi-hukum yang tepat dijatuhkan karena perbuatan atau kelalaian seperti hukuman dera (cambuk) bagi orang yang menfitnah secara serius, atau hukum potong tangan bagi pencuri.
Hidup dalam tatanan masyarakat yang aman, tenteram dan sejahtera merupakan dambaan setiap manusia, munculnya tindakan-tindakan amoral/ asusila merupakan konsekuensi dari globalisasi yang berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Fitrah manusia sebagai makhluk yang paling sempurna adalah makhluk yang bermoral dan mampu berprilaku susila/baik, karena telah dikaruniai akal sebagai bekal untuk berpikir dan bertidak dengan koridor-koridor yang menjadi acuan hidup berperilaku, baik yang merupakan aturan tingkah laku yang tak tertulis (Conduct Norm) maupun aturan yang telah disepakati sebagai hukum tertulis.
Namun demikian manusia sebagai makhluk yang sempurna juga memiliki nafsu yang ikut berperan mengarahkan atau mempengaruhi perilakunya sehingga ada kecenderungan manusia melakukan perbuatan-perbuatan ammoral/ tidak bermoral dan asusila/ tidak susila. Keberadaan akal dan nafsu dalam diri manusia tersebut menimbulkan suatu keadaan perilaku yang mengarah kepada perbuatan baik dan buruk seorang manusia. Manusia sebagai obyek bermuaranya dua faktor berpengaruh mengharuskan manusia mampu memilih dan mengarahkan setiap tindakan yang akan dilakukan agar tidak dikuasai oleh nafsu sebagai salah satu faktor berpengaruh dalam diri manusia. Idealnya manusia itu mampu menekan nafsunya menggunakan akal yang dimilikinya agar setiap perilakunya menjadikan perilaku yang bermoral dan terarah.
Harapan akan idealitas kehidupan terkadang tidak dapat terwujud manakala manusia dikuasai oleh nafsunya, sehingga manusia cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada tindakan yang tidak susila. Manusia diciptakan didunia selain sebagai makhluk personal juga sebagai makhluk sosial sehingga setiap perbuatan yang akan dilakukan harus juga memperhatikan kepentingan orang lain yang berada dilingkungannya.
Bangsa Indonesia sebagai salah satu unsur dari negara juga tidak pernah lepas dari perilaku yang dipengaruhi oleh nafsu, sehingga muncul perbuatan-perbuatan yang dianggap oleh berbagai kalangan sebagai perbuatan yang buruk. Fenomena pornografi dan pornoaksi misalnya, Tindakan pornografi dan pornoaksi dinilai memberikan andil besar atas kemerosotan moral bangsa Indonesia dari hari ke hari. Sebagaimana diberitakan Kantor Berita Associated Press (AP), Indonesia berada pada urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi .
Indonesia merupakan negara peringkat kedua di dunia setelah Swedia dalam peredaran majalah dan VCD pornografi dan pornoaksi, sehingga kedepannya akan berdampak buruk pada masyarakat luas. "Hasil penelitian Thomas Bombadil dari British National Party memaparkan 77% pelaku sodomi dan 87% pemerkosa perempuan adalah mereka yang secara rutin berhubungan dengan materi pornografi, baik bacaan maupun tayangan," kata Asisten Deputi Kerukunan, Menkokesra Razali Hamzah SH di Denpasar. Di sela-sela kegiatan rapat koordinasi pencegahan pornografi dan pornoaksi itu ia mengatakan, didukung juga data hasil survei Center for Human Resources Development FISIP Univesitas Airlangga juga menemukan 56,5% kalangan remaja usia 15-19 tahun yang menjadi mayoritas penonton film porno.selanjutnya dia juga mengungkapkan bahwa,,"Dampak dari pornografi diantaranya kecanduan untuk menikmati tayangan pornografi membuat orang kehilangan penguasaan diri, meningkatkan nafsu liar, di mana orang menjadi tidak puas dengan hubungan seksual yang normal dan masuk dalam pornografi yang semakin brutal, biasanya guna mendapatkan sensasi dan gairah yang sama" .
Selain itu juga hilangnya kepekaan moral seperti perasaan menjijikkan, amoral dan menyesatkan, namun menikmatinya sebagai tayangan yang dapat diterima serta mulai memandang orang lain sebagai obyek. Pada prinsipnya semua pihak sepakat bahwa pornografi dan pornoaksi yang tersebar dewasa ini, tanpa ada pengontrolan yang baik akan berdampak pada generasi muda, Hal itu tidak bisa dipungkiri seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) kegiatan yang menjurus ke hal itu juga ikut berkembang. Sebab perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat dan mengalir ke rumah tangga tanpa batas.
Pro dan kontra berkaitan dengan pengaturan tindakan pornografi dan pornoaksi ini, merupakan permasalahan pula bagi negara untuk dapat mewujudkan peraturan perundang-undangan mengenai pornografi dan pornoaksi. Yang kontra terhadap pengaturan pornografi dan pornoaksi beralasan bahwa, masalah pornografi tidak dapat diatur dalam UU karena akan menimbulkan ketegangan sosial dan mengancam kreativitas serta negara tidak memiliki hak untuk ikut mencampuri urusan personal/individual warga masyarakatnya. Sebaliknya, beberapa kalangan, mulai para ulama, da’i, ibu-ibu rumah tangga dan para pendidik sangat berharap terhadap pengesahan dan pemberlakuan UU Anti pornografi dan Pornoaksi. Mereka meyakini dengan pemberlakukan UU ini akan memberi kekuatan hukum dalam mencegah meluasnya aksi-aksi pornografi dan pornoaksi .
Peneltian secara komprehenshif terhadap permasalahan hubungan moralitas dan hukum khususnya yang berkiatan dengan fenomena pornografi belum banyak dilakukan, sehingga muncul dugaan-dugaan serta perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan masyarakat berkaitan pentingnya sarana hukum untuk mengatur moralitas bangsa. Indonesia sebagai negara hukum memberikan konsekuensi bahwa hukum sebagai sarana mengatur dan mengotol masyarakat diharapkan benar-benar memiliki andil agar moralitas bangsa menjadi baik. Selain itu hukum juga harus mampu memberika kemanfaatan dan keadilan bagi masyarakat.
Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa indonesia harus dijadikan rujukan dalam mewujudkan peraturan perundangan. Dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum, sebagai suatu negara hukum, didalamnya terdapat sejumlah peraturan prundang-undangan/hukum yang keseluruhan merupakan satu kesatuan yang terseusun secara tertib hukum.(Legal Order atau Rechtsodnung). Suatu tertib hukum akan terlihat sebagai suatu bangunan yang tersusun secara hirearkis, atau tertib hukum derajat/tertib tingkat, dimana dalam susunan tersebut terdapat hukum yang berperan sebagai dasar dan sumber dari segala sumber hukum negara
Pertanyaan apa sebenarnya pornografi dan pornoaksi itu? Tidak dapat segera dapat dijawab dengan mudah, oleh karena sampai saat ini tidak ada kesepakatan mengenai pengertian pornografi dan pornoaksi. Sebagai gambaran tentang beberapa pendapat yang mencoba memberikan pengertian pornografi dan pornoaksi.
Pornografi berasal dari bahasa yunani, istilah ini terdiri dari kata porne yang berarti wanita jalang dan graphos atau graphien yang berarti gambar atau tulisan, pornografi menunjuk pada gambar atau photo yang mempertontonkan bagian-bagian terlarang tubuh perempuan. Pengertian ini secara eksplisit menunjukan bahwa term pornografi selalu dan hanya berkaitan dengan tubuh perempuan. Padahal menurut Yahya S Hamid obyek pornografi sendiri tidak hanya berkutat pada wilayah tubuh seorang perempuan, melainkan juga pada pria maupun waria, dan bahkan binatang juga termasuk di dalamnya.
Konteks Indonesia, kata porno berubah menjadi cabul, sementara istilah pornografi sendiri diartikan sebagai bentuk “penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan untuk membangkitkan nafsu birahi” atau “bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks” dalam Terminologi Hukum, pornogarfi diartikan sebagai barang cetak atau film yang mengungkapkan masalah-masalah seksual kotor.
Selanjutnya pengertian tentang pornografi adalah tulisan atau materi visual apapun yang menggambarkan ketelanjangan dan / atau aktifitas seksual yang dapat meningkatkan gairah seksual. Namun, tidak semua deskripsi atau gambar-gambar telanjang, organ-organ seksual, dan aktifitas seksual (seperti yang ditemukan didalam materi pendidikan atau buku-buku medis) merupakan pornografi. Sesuatu disebut pornografi tergantung pada pemahaman makna materi-materi tersebut yang meningkatkan gairah seksual.
Menurut jeff olson ada dua bentuk yang paling umum dari produksi dan konsumsi pornografi, yaitu: “soft core” dan “hard core” yaitu:
1. pornografi soft core adalah pornografi yang menggambarkan wanita telanjang atau wanita yang berpakaian minim yang menunjukkan payudara dan bagian intim wanita, namun tidak menunjukan hubungan seksual.
2. pornografi hard core adalah menggambarkan bentuk-bentuk hubungan seksual (dipaksa dan tidak dipaksa ) antara dua orang atau lebih.

Perbincangan tentang pornografi selalu terkait dengan pornoaksi, meskipun bukan dalam hubungan sebab-akibat. Dalam beberapa literatur ditemukan definisi tentang pornoaksi. Menurut Burhan Bungin, pornoaksi merupakan suatu penggambaran aksi gerakan, lenggokan, liukan tubuh yang tidak sengaja atau sengaja untuk memancing bangkitnya nafsu seksual laki-laki. Pada awalnya, pornoaksi adalah aksi-aksi obyek seksual yang di pertontonkan secara langsung oleh seseorang kepada orang lain, sehingga menimbulkan histeria seksual dimasyarakat.
Devinisi-devinisi di atas menunjukan bahwa sebenarnya persoalan pornografi dan pornoaksi merupakan persoalan yang masih selalu diperdebatkan sehingga tidak ada kesatuan atau kesepakatan devinisi pornografi dan pornoaks tersebut, namun dalam hal ini penulis mencoba memberikan pengertian pornografi dan pornoaksi.
Pornografi adalah materi baik berupa tulisan atau gambar yang dengan sengaja maupun tidak sengaja di buat atau dirancang dengan tujuan untuk membangkitkan nafsu birahi/ seks. Namun dikecualikan untuk tulisan atau gambar yang dirancang untuk keperluan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Sedangkan pornoaksi dapat penulis devinisikan sebagai tindakan penggambaran dalam bentuk gerakan, liukan tubuh yang dapat membangkitkan nafsu birahi/seks.













BAB III
PENDEKATAN ALTERNATIF ATAS PERMASALAHAN PORNOGRAFI

A. Kriminalisasi Pornografi di Indonesia
Pornografi berasal dari bahasa yunani, istilah ini terdiri dari kata porne yang berarti wanita jalang dan graphos atau graphien yang berarti gambar atau tulisan, pornografi menunjuk pada gambar atau photo yang mempertontonkan bagian-bagian terlarang tubuh perempuan. Pengertian ini secara eksplisit menunjukan bahwa term pornografi selalu dan hanya berkaitan dengan tubuh perempuan. Padahal menurut Yahya S Hamid obyek pornografi sendiri tidak hanya berkutat pada wilayah tubuh seorang perempuan, melainkan juga pada pria maupun waria, dan bahkan binatang juga termasuk di dalamnya.
Konteks Indonesia, kata porno berubah menjadi cabul, sementara istilah pornografi sendiri diartikan sebagai bentuk “penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan untuk membangkitkan nafsu birahi” atau “bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks” dalam Terminologi Hukum, pornogarfi diartikan sebagai barang cetak atau film yang mengungkapkan masalah-masalah seksual kotor.
Selanjutnya pengertian tentang pornografi adalah tulisan atau materi visual apapun yang menggambarkan ketelanjangan dan / atau aktifitas seksual yang dapat meningkatkan gairah seksual. Namun, tidak semua deskripsi atau gambar-gambar telanjang, organ-organ seksual, dan aktifitas seksual (seperti yang ditemukan didalam materi pendidikan atau buku-buku medis) merupakan pornografi. Sesuatu disebut pornografi tergantung pada pemahaman makna materi-materi tersebut yang meningkatkan gairah seksual.
Menurut jeff olson ada dua bentuk yang paling umum dari produksi dan konsumsi pornografi, yaitu: “soft core” dan “hard core” yaitu:
3. pornografi soft core adalah pornografi yang menggambarkan wanita telanjang atau wanita yang berpakaian minim yang menunjukkan payudara dan bagian intim wanita, namun tidak menunjukan hubungan seksual.
4. pornografi hard core adalah menggambarkan bentuk-bentuk hubungan seksual (dipaksa dan tidak dipaksa ) antara dua orang atau lebih.
Perbincangan tentang pornografi selalu terkait dengan pornoaksi, meskipun bukan dalam hubungan sebab-akibat. Dalam beberapa literatur ditemukan definisi tentang pornoaksi. Menurut Burhan Bungin, pornoaksi merupakan suatu penggambaran aksi gerakan, lenggokan, liukan tubuh yang tidak sengaja atau sengaja untuk memancing bangkitnya nafsu seksual laki-laki. Pada awalnya, pornoaksi adalah aksi-aksi obyek seksual yang di pertontonkan secara langsung oleh seseorang kepada orang lain, sehingga menimbulkan histeria seksual dimasyarakat.
Devinisi-devinisi di atas menunjukan bahwa sebenarnya persoalan pornografi dan pornoaksi merupakan persoalan yang masih selalu diperdebatkan sehingga tidak ada kesatuan atau kesepakatan devinisi pornografi dan pornoaks tersebut, namun dalam hal ini penulis mencoba memberikan pengertian pornografi dan pornoaksi.
Dampak-dampak serta fakta-fakta yang mungkin dapat dijadikan dasar berpijak sebelum membahas apakah kriminalisasi terhadap pornografi dan pornoaksi ini sudah sangat urgen?.Hasil penelitian Thomas Bombadil dari British National Party memaparkan 77% pelaku sodomi dan 87% pemerkosa perempuan adalah mereka yang secara rutin berhubungan dengan materi pornografi, baik bacaan maupun tayangan.
Asisten Deputi Kerukunan, Menkokesra Razali Hamzah SH di Denpasar. Di sela-sela kegiatan rapat koordinasi pencegahan pornografi dan pornoaksi itu ia mengatakan, didukung juga data hasil survei Center for Human Resources Development FISIP Universitas Airlangga juga menemukan 56,5% kalangan remaja usia 15-19 tahun yang menjadi mayoritas penonton film porno. selanjutnya beliau juga mengungkapkan bahwa, Dampak dari pornografi diantaranya kecanduan untuk menikmati tayangan pornografi membuat orang kehilangan penguasaan diri, meningkatkan nafsu liar, di mana orang menjadi tidak puas dengan hubungan seksual yang normal dan masuk dalam pornografi yang semakin brutal, biasanya guna mendapatkan sensasi dan gairah yang sama".
Hal yang telah disampaikan di atas hanya sebagian kecil, dari sejumlah kasus yang terjadi yang disebabkan oleh maraknya pornografi dan pornoaksi di Indonesia, namun ini cukup memberikan gambaran kepada kita bahwa pornografi dan pornoaksi memiliki dampak buruk, bahkan nyaris tidak ada dampak positifnya. Sehingga dari gambaran di atas tidak berlebihan jika persoalan pornografi dan pornoaksi perlu mendapatkan perhatian serius.
Terhadap persoalan mendasar apakah urgensi kriminalisasi tindakan pornografi dan pornoaksi, dalam kacamata politik hukum pidana dapat dikemukakan analisis sebagai berikut:
1. Bahwa suatu kejahatan atau tindak pidana selain merupakan masalah kemanusiaan juga merupakan permasalah sosial, bahkan dinyatakan sebagai The oldest social problem. Menghadapi masalah ini, dalam sejarah peradapan manusia telah banyak dilakukan berbagai upaya (kebijakan rasional) untuk menanggulanginya. Kebijakan rasional menanggulagi kejahatan inilah yang populer disebut dengan politik kriminal. Konggres PBB ke-6 tentang The Prevention of crime and the treatment of offender di Jenewa Swiss tahun 1981 hingga konggres ke-9 tentang hal yang sama di Havana Cuba tahun 1990, ditegaskan bahwa kebijakan menanggulangi suatu kejahatan hendaknya dilihat sebagai bagian dari keseluruhan kebijakan sosial. Mengingat kebijakan menanggulangi kejahatan tidak akan banyak artinya jika kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan itu sendiri justru menimbulkan faktor-faktor Criminogen dan Victimogen. Selain itu ditegaskan pula bahwa upaya menanggulangi kejahatan haruslah dilakukan secara terpadu (integral) antara penggunaan sarana Penal (membuat serta menegakkan aturan hukum pidana) dengan sarana non penal (pendekatan selain hukum pidana misalnya politik, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain). Hal ini mengingat selain kebijakan penanggulangan kejahatan bukanlah semata-mata masalah hukum pidana, juga karena huku pidana sendir hakekatnya memiliki batas-batas kemampuan.
2. Dilihat dari segi sifatnya yang represif dan bobot sanksinya yang paling berat dibanding bidang hukum lain, maka dalam doktrin dikenal ajaran bahwa hendaknya fungsionalisasi hukum pidana benar-benar harus mempertimbangkan asas Ultimum Remidium. Artinya huku pidana mestinya diterapkan sebagai sarana terakhir setelah mempertimbangkan sanksi yang diberikan melalui bidang hukum lain atau melalui optimalisasi kaidah sosial lainnya dipandang tidak cukup berhasil dalam mengatasi (mencegah dan menanggulangi) masalah sosial yang dihadapi. Asas Ultimum Remidium ni penting, tidak hanya dierhatikan pada waktu melakukan kriminalisasi saja tetapi juga pada saat menerapan undang-undang itu sendiri dalam praktek penegakan hukum. Secara lebih rinci Muladi dan Barda Nawawi Arif menjelaskan bahwa konsep penggunaan undang-undang hukum pidana berdasarkan asas ltimum remidium tersebut maknanya adalah sebagai berikut:
a. Jangan menggunakan hukum pidana secara emosional untuk melakukan pembalasan semata,
b. Hukum pidana pun hendaknya janga digunakan untuk memidana perbuatan yang tidak jelas korban atau kerugiannya,
c. Hukum pidana jangan pula dipakai hanya untuk suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penggunaan hukum pidana tersebut,
d. Jangan menggunakan hukum pidana apabila hasil sampaingan (by Product) yang ditimbulan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan dikriminalisasikan,
e. Jangan pula menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat, dan kemudian janganlah menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya diperkirakan tidak dapat efektif (unforceable),
f. Penggunaan hukum pidana pun hendaknya harus menjaga keserasian anara moralis komunal, moralis kelembagaan dan moralis sipil, serta memperhatikan pula korban kejahatan,
g. Dalam hal-hal tertentu hukum pidana harus mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan,
h. Dan akhirnya penggunaan hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana pencegahan yang bersifat no penal (Prevention without punishment).
Bertolak dari penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa dalam menghadapi suatu problem sosial bernama kejahatan, solusi berupa kebijakan dengan membuat dan menggunakan aturan hukum pidana untuk menanggulanginya pada prinsipnya tidak ada yang salah (sah-sah saja). Sepanjang kebijakan tersebut masih dalam koridor doktrin hukum pidana sebagai Ultimum Remidium.
3. Berkaitan dengan pemerintah untuk mengkriminalisasikan pornografi , pertanyaan yang muncul adalah apakah perumusan undang-undang sudah memenuhi doktrin ultimum remidium? Sehubungan dengan hal ini maka perlu dicermati hal-hal sebagai berikut:
a. Bahwa fenomena maraknya pornografi dan pornoaksi dengan segala bentuk dampak yang ditimbulkan adalah fakta yang tak terbantahkan. Kasus VCD “Bandung Lautan Asmara”, Casting Iklan Sabun Mandi, Artis ganti pakaian, yang melibatkan “korban” beberapa artis seperti sarah ashari, rachel maryam, femmy permatasari dan lain sebagainya, beredar bebasnya sejumlah tabloit atau koran beraliran “Syur” yang mengumbar gambar-gambar model dengan pose seronok, berita-berita seperti perzinaan, pelecehan seksual bahkan perkosaan yang ramai menghiasi media masa akhir-akhir ini, dengan pengakuan yang sangat mengejutkan bahwa mereka melakkan perbuatan itu karena setelah habis menonton VCD porno atau sehabis melihat pertunjukan yang berbau pornoaksi. Ini hanyalah sekedar contoh sekaligus indikasi yang menunjukkan betapa sangat memprihatinkannya dan seolah tidak dapat dikendalikan lagi fenomena pornografi dan pornoaksi di Indonesia. Dalam kondisi demikian, maka masalah moralitas bangsa ke depan tentu menjadi taruhannya.
b. Semetara itu, upaya untuk menanggulanginya dengan pendekatan moral susila keagamaan (seperti yang terlihat dengan tumbuh suburnya berbagai majlis ta’liem maupun publikasi dan sosialisasi nila-nilai budi luhur warisan budaya bangsa yang mengkritik dan mencela fenomena pornografi dan pornoaksi tersebut) dalam kenyataannya tampak berlalu saja tanpa hasil yang berarti. Pengajian hanya merupakan kegiatan rutin keagamaan dan nilai-nilai budaya pun seolah-olah hanya bernasib sebagai warisan yang tidak diminati oleh generasi sekarang. Budaya trend dengan penampilan yang pornoaksi tampak lebih menjadi panutan. Ini fakta sehari-hari yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Dan benar-benar agama, serta nilai budaya nyaris tak berdaya.

B. Pendekatan dalam Kriminalisasi Tindakan Pornografi
Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat juga diartikan sebagai politik kriminal, Politik kriminil atau kebijakan penanggulangan kejahatan tersebut dapat mencakup ruang lingkup yang luas, ini berarti, politik kriminil dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana.
Sebagaimana dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan tindak pidana (Criminal Policy) dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara yaitu:
1. Crininal Law Aplication;
2. Prevention Without Punishment;
3. Influencing Views of society on crime and punishment.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam yaitu kebijakan penangulangan tindak pidana dengan mengunakan sarana hukum pidana (Penal Poicy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunkan sarana diluar hukum pidana (Non Penal Policy). Pada dasarnya Penal Policy menitikberatkan pada tindakan refresif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif setelah terjadinya tindak pidana. Menurut pandangan dari sudut politik criminal secara makro, non penal policy merupaan kebijakan penangulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu dikarenakan, non penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran utama non penal Policy adalah menangani dan menghapuskan factor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (Penal Policy) dikenal dengan istilah “kebijakan Hukum Pidana” atau “politik hukum pidana” Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana (Penal Policy)merupakan suat ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan pratis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang. Kebijakan hukum pidana tersebut merupakan salah satu komponen dari Modern Criminal sciene di samping Criminology dan Criminal Law.
Penal Policy atau politik (kebijakan) hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif) kebijakan aplikasi (Kebijakan Yudikatif) dan pelaksanaan hukum pidana (Kebijakan Eksekutif). Kebijakan legislative merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain, perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini berarti menyangkut proses kriminalisasi. Kriminalisasi, menurut soedarto merupakan proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Tindakan itu diancam dengan terbentuknya undang-undang dengan suatu sanksi berupa pidana.
Kaitannya dengan hal ini, Barda Nawawi Arif menyatakan, “kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulanga kejahatan”. Sedangkan Pengertian penanggulangan kejahatan menurut Mardjono Reksodipoetro adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Selanjutnya Barda Nawawi Arif mengatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakekatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum pidana. Oleh karena itu politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undanganan pidana yang merupakan bagian integral dari politik social. Politik social tersebut menurut Barda dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.
Permasalahan pornografi dan pornoaksi bukanlah permasalahan yang sederhana sehingga memerlukan keseriusan serta kebijakan yang mampu meminimalisir perbedaan pendapat, hal ini dikarenakan bahwa, di indonesia terjadi pro dan kontra berkaitan penanggulangan pornografi dan pornoaksi ini, yang mana masing-masing pihak yang pro dan kontra tetap mempertahankan argumentasi masing-masing.
Negara sebagai organisasi pemerintahan yang memiliki peran utama guna menanggulangi pornografi dan pornoaksi seyogyanya memilik strategi yang efektif. Yang diharapkan dengan tindakan baik represif maupun prefentif dengan tanpa mengabaikan pendapat-masing-masing yang pro dan kontra sebagai wujud dari negara demokrasi.
Upaya Negara dalam menanggulangi tindakan pornografi dan pornoaksi jika dilihat dari kebijakan yang ada dapatlah dikatakan bahwa Negara sebenarnya sudah mengambil strategi penanggulangan pornografi dan pornoaksi dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), hal ini dapat ditunjukkan dengan munculnya undang-undang pornografi.
Namun demikian strategi penanggulangan pornografi dan pornoaksi yang dilakukan oleh Negara menggunakan hukum pidana bukanlah sesuatu yang mudah, karena kriminalisasi terhadap perbuatan pornografi dan pornoaksi terjadi pro dan kontra, yang semua tetap teguh pada argumentasinya masing-masing.
Pro dan kontra seputar pornografi ini berada pada tataran substansi dari isi rancangan-undang-undang anti pornografi dan pornoaksi. Namun menurut penulis bahwa sebenarnya argumentasi masing-masing yang pro dan yang kontra terakadang lebih mengedepankan emosi sehingga semakin memperkeruh persoalan.
Terlepas dari strategi negara dalam rangka mengkriminasilasikan tindakan pornografi dan pornoaksi tersebut, penulis berusaha memberikan solusi dalam rangka meminimalisasi permasalahan pro dan kontra UU Pornografi. Menurut penulis, permasalahan pro dan kontra pornografi tidak terlepas dari persoalan nilai yang berusaha dibangun oleh masing-masing pihak. Pihak yang pro berada pada tataran nilai etika dan moral sedangkan yang pro berada pada tataran nilai estetika dan hak asasi manusia (HAM).
Perbedaan paradigma tentang nilai inilah sebenarnya merupakan pertarungan ideologi mana masing-masing mempertahakan kebenaran ideologinya masing-masing. Sehingga berlanjut menjadi satu permasalahan yang selalu muncul diberbagai sektor, baik sektor ekonomi bisnis, politik, hukum dan lain-lain. Pro dan kontra diberbagai sektor ini sebaiknya pemerintah menyikapi dengan arif dan bijaksana dengan mencari titik kompromi sehingga perbedaan serta perselishan mampu diselesaikan.
Tindakan pemerintah dalam mencari titik kompromi ini memerlukan strategi agar dapat berhasil. Persoalan pornografi dan pornoaksi tersebut menurut hemat penulis pro dan kontra lebih banyak berada pada tataran seni dan kreatifitas yang berada pada nilai estetika dan bisnis dengan kepatutan dan kesopanan pada nilai etika dan moral. Sehingga negara dalam mencari titik kompromi guna mewujudkan undang-undang yang membatasi tindakan pornografi dan pornoaksi memerlukan strategi dengan melihat akar persoalan tersebut.
Strategi yang harus dilakukan adalah dengan meminta kedua belah pihak untuk menyampaikan masukan kepada pemerintah berkaitan dengan hal ini. Selanjutnya negara dalam hal ini pemerintah dalam hal ini legislatif sebagai seorang formulator harus memasukkan kedua nilai tersebut dengan cara mengambil salah satu nilai yang dijadikan paradigma perumusan undang-undang dengan juga memperhatikan nilai yang lainnya. Dua nilai dalam perdebatan tersebut adalah nilai estetika dan etika, dimunculkan salah satu nilai tersebut menjadi paradigmanya misalnya nilai etika yang dimunculkan sebagai paradigma namun tanpa harus memasung nilai kreatifitas. Atau sebaliknya nilai estetika yang dijadikan paradigmanya namun estetika dan kreatifitas sebagai paradigma jangan sampai melanggar etika moral yang menjadi conduct norm atau aturan tingkah laku.
Jika kompromi dangan cara tersebut belum berhasil, maka diperlukan sikap tegas dan keberanian pemerintah untuk mengambil sikap memilih salah satu paradigma dengan mencari dampak buruk yang terkecil. Namun sebenarnya hasil pertemuan yang sering dilakukan di lembaga legislatif lebih banyak yang pro atau mendukung segera disahkanya RUU PP sebagai undang-undang dibandingka dengan yang kontra. Dengan alasan itu sebenarnya negara sudah dibenarkan untuk mengambil kebijakan. Perbedaan pasti akan tetap muncul, yang perlu dipahami adalah bahwa suara mutlak tidak akan pernah terjadi di negara dengan sistem demokrasi. Sehingga perlu dilakukan pengambilan kebijakan dengan berdasarkan suara mayoritas.
BAB IV
KEBIJAKAN PENAL DALAM MASALAH PORNOGRAFI

Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat juga diartikan sebagai politik kriminal, Politik kriminil atau kebijakan penanggulangan kejahatan tersebut dapat mencakup ruang lingkup yang luas, ini berarti, politik kriminil dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana.
Sebagaimana dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan tindak pidana (Criminal Policy) dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara yaitu:
4. Crininal Law Aplication;
5. Prevention Without Punishment;
6. Influencing Views of society on crime and punishment.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam yaitu kebijakan penangulangan tindak pidana dengan mengunakan sarana hukum pidana (Penal Poicy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunkan sarana diluar hukum pidana (Non Penal Policy). Pada dasarnya Penal Policy menitikberatkan pada tindakan refresif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif setelah terjadinya tindak pidana. Menurut pandangan dari sudut politik criminal secara makro, non penal policy merupaan kebijakan penangulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu dikarenakan, non penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran utama non penal Policy adalah menangani dan menghapuskan factor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (Penal Policy) dikenal dengan istilah “kebijakan Hukum Pidana” atau “politik hukum pidana” Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana (Penal Policy)merupakan suat ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan pratis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang. Kebijakan hukum pidana tersebut merupakan salah satu komponen dari Modern Criminal sciene di samping Criminology dan Criminal Law.
Penal Policy atau politik (kebijakan) hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif) kebijakan aplikasi (Kebijakan Yudikatif) dan pelaksanaan hukum pidana (Kebijakan Eksekutif). Kebijakan legislative merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain, perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini berarti menyangkut proses kriminalisasi. Kriminalisasi, menurut soedarto merupakan proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Tindakan itu diancam dengan terbentuknya undang-undang dengan suatu sanksi berupa pidana.
Kaitannya dengan hal ini, Barda Nawawi Arif menyatakan, “kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulanga kejahatan”. Sedangkan Pengertian penanggulangan kejahatan menurut Mardjono Reksodipoetro adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Selanjutnya Barda Nawawi Arif mengatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakekatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum pidana. Oleh karena itu politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undanganan pidana yang merupakan bagian integral dari politik social. Politik social tersebut menurut Barda dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.
Nilai-nilai normative yang dijadikan dasar acuan untuk penanggulangan pornografi merupakan peraturan perundang-undangan. Sebagai bentuk kebijakan penal penanggulangan pornografi di ndonesia didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum UU pornografi maupun undang-undang pornografi itu sendiri.
Peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum lahirnya undang-undang pornografi yang memungkinkan dijadikan dasar acuan penanggulangan pornografi adalah:
a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terutama yang berkaitan dengan ketentuan mengenai delik kesusilaan sebagaimana terdapat dalam pasal 281, 282, 283, 532, 533, 534 dan pasal 535.
b. UU No. 40/1999 tentang Pers terutama yang berkaitan dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “pers nasional berkewajiban memberitakan eristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”. Dan ketentuan pasal 13 huruf a yang menegaskan: “pers nasional dilarang memuat pemberitaan atau iklan yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat”.
c. Kode etik jurnalistik terutama yang berkaitan dengan ketentuan pasal 2 angka 2 huruf c yang menegaskan bahwa wartawan Indonesia tidak menyiarkan hal-hal yang dapat menyinggung perasaan susila, agama, kepercayaan atau keyakinan seseorang atau suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang.
d. UU No. 27 Tahun 2002 Tentang Penyiaran terutama yang berkait dengan ketentuan pasal 36 yang antara lain pada ayat (1) menegaskan bahwa isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hibuan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan seta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Sedangkan pada ayat (5 huruf b) melarang tegas isi siaran yang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, pejudian, penyelahgunaan narkotika dan obat terlarang.
Berkaitan dengan efektifitas dari peraturan perundang-undangan tersebut di atas memang masih belum dapat berlaku efektif karena hal tersebut terbukti dengan masih maraknya tindakan pornografi dan penyebaran pornografi di Indonesia, melihat kenyataan masih maraknya pornografi di masyarakat mengharuskan Negara mengambil kebijakan penanggulangan pornografi dalam bentuk kebijakan penal dengan disahkannya Undang-undang Nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi.
Undang-undang tersebut merupakan acuan normative dalam melakukan penanggulangan terhadap pornografi di Indonesia. Memang dalam prakteknya belum dapat dilihat ekektifitasnya namun dasar yang paling tepat dalam melakukan penanggulangan adalah Undang-unddang nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi.


















BAB V
KESIMPULAN

Ilmu hukum sebagai sebuah kajian sarat akan nilai-nilai moral sehingga pada setiap praktek penegakan hukum selalu mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat yang terkait dengan nilai-nilai moralitas, permasalahan pornografi merupakan fenomena yang harus disikapi dengan arif, karena hal ini terkait dengan permasalahan nilai moralitas dan budaya bangsa. Pro dan kontra terhadap permaalahan pornografi merupakan bukti adanya kepedulian bangsa Indonesia terhadap nilai-nilai moralitas dan hak asasi manusia.
Namun demikian permasalahan pornografi sudah demikian komplek sehingga pemerintah harus menentukan alternative penyelesaian masalah tersebut, kebijakan yang diambil Negara dalam hal ini adalah kebijkan penal yaitu kebijakan dengan menggunakan peraturan perundang-undangan. Sehingga pemerintah mengesahkan RUU menjadi undang-undang yakni UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi yang dijadikan acuan normative penyelesaian permasalahan pornografi.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kholiliq. AF. RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Politik Hukum Pidana, Makalah diskusi panel bertema “membahas RUU APP Secara akademik dan proporsional. Diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Hukum dasar bekerja sama dengan Departemen hukum pidana UII, Yogyakarta Tanggal 16 maret 2006.
A.Muktie Fadjar.2007, Aspek-Aspek Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis Kefilsafatan Ilmu (Hand Out Mata Kuliah Filsafat Ilmu PDIH Unibraw ), Malang
A Rasyid.1991, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers
Barda Nawawi Arif,2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung : Citra Aditya Bakti
-------------------------, Upaya non penal dalam kebijakan penanggulangan kejahatan, Makalah seminar Nasional kriminologi VI, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang tangal 16-18 september 1991
Benedict A. Alper, Changing Concept of crime and criminal Policy, Resource Material Series No. 7, Tokyo: UNAFEI, 1973
Bungin Burhan, 2005, Pornomedia, Sosiologi Media, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks di Media Massa, Jakarta: Kencana
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,1998,Jakarta
G Peter Hoefnagels, 1973,The Other Side of Criminology, Kluwer Deventer Holland
H.L.A., Law; Liberty, and Morality (London: Oxford University Press, 1963)
Jeff Olson, 1999, Lepas Dari Jerat Pornografi ( Seri Pemulihan Diri),Yogyakarta: Yayasan Gloria
John Z Loudoe.1985, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, Jakarta:PT Bina Aksara
Jujun S Suriasumantri.1990, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Hara Pan
J.M. Van Bemmelen, Hukum Pdana I: Hukum pidana materiel bagian umum (terjemahan), Bandung: Bina Aksara
Mac Ancel, 1965, Social Defence, AModern Approach to Criminal Problems, London: Rautledge
Mardjono Reksodipoetro,1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi), Jakarta: Universitas Indonesia.
Muladi dan Barda Nawawi Arif1992, , Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni
Moch Fatich, TT, Aspek ontologism, epistimologis dan aksiologis dari bangunan ilmu hukum, makalah,
Musthafa Kamal Pasha Et all 2003, , Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis dan Filosofis, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri
Paul Scholten., Mr.C.Assers, Hanleiding Tot De Beofening Van Het Nederlandsch Burgerlijk Recht : Algemeen Deel (Edisi terjemahan Bahasa Indonesia oleh Siti Sumarti Hartono), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Satcipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Siti Sumarti Hartono.1989, Penemuan Hukum dari Montesque sampai Paul Scholten, Majalah Mimbar Hukum FH UGM Jogyakarta No.8/I/1989
Sudarto,1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Bandung: Sinar Baru
Sudikno Mertokusumo, 1999, MengenalHukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty
Teguh Prasetya dan Abdulhalim Barkhatullah,2005, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), Yogyakarta:Pustaka Pelajar
(Zubaedi, Artikel “UU Porngrafi Perlukah?, www.google.com)
Yahya S Hamid, (www.dwp.or.id)
http://www.kapanlagi.com/h/0000127902.html).
Republika 17 Juli 2003

FENOMENA CYBERPORN DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM

Oleh : Novita Dewi Masyithoh, SH., MH.
Abstrak
Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat diimbangi dengan perkembangan teknologi yang telah melintasi batas negara-negara di dunia merupakan suatu pencapaian dan pemutakhiran dalam globalisasi keilmuan. Sebagaimana diketahui, bahwa kemampuan manusia dengan akal dan budi yang dimiliki mampu menggenggam dunia ini dengan segala isinya dalam satu genggaman rapat, yang di satu sisi dengan genggamannya mampu mengupayakan pemanfaatan ilmu dan teknologi untuk tujuan kemaslahatan dan di sisi lain dengan genggamannya mampu meremukredamkan peradaban yang telah dimiliki manusia ribuan tahun lamanya.
Internet adalah salah satu bukti perkembangan ilmu dan teknologi yang telah mampu dibuktikan dengan menjamurnya teknologi ini di seluruh dunia. Teknologi informasi dan komputer ini telah mampu menunjukkan eksistensinya sebagai teknologi yang berbasis mayantara, sehingga mampu diakses secara transnasional melintasi batas suatu negara, sehingga dapat mempermudah arus informasi dan komunikasi yang dapat melahirkan keuntungan-keuntungan dengan meminimalisir pengorbanan. Banyak orang memanfaatkan teknologi ini untuk kepentingan-kepentingan bisnis publik (e-commerce), bahkan pemanfaatannya sudah mencapai kebutuhan privat dan menimbulkan ketergantungan teknologi tersendiri bagi pemakainya.
Kenyataan ini membawa implikasi yang lebih jauh dan serius, karena akan semakin marak bermunculan modus-modus baru dalam bertransaksi dan berkomunikasi. Cyberporn, atau yang biasa dikenal dengan cybersex/orgasmaya adalah salah satunya. Pornografi di internet tidak dapat dihindari karena arus informasi dan komunikasi menggiring manusia pada suatu ruang atau dunia baru yang merupakan suatu alternatif pemuasan kebutuhan yang biasa disebut dengan cyberspace.
(Keywords: cyberporn, cyberspace, pornografi, kebijakan penal, kebijakan non penal, sosiologi hokum, hokum)
I. PENDAHULUAN
Keberadaan internet semakin pesat dan sangat mudah diakses oleh masyarakat. Di setiap daerah, terlebih di kota-kota besar, sangat menjamur warung internet (warnet) yang tersebar, tidak hanya di pusat-pusat kota, tetapi juga di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota. Terlebih saat ini, dengan adanya persaingan pasar sempurna, pebisnis warnet menawarkan harga yang relatif murah dan terjangkau bagi kantong orang dewasa sampai dengan anak-anak. Tidak hanya itu, penawaran modem dan fasilitas pemasangan internet, baik kabel maupun tanpa kabel sudah memasuki segala lini di masyarakat. Setiap jasa telekomunikasi melengkapi teknologinya dengan fasilitas ini. Dengan harga pra bayar maupun pasca bayar yang tidak menguras kantong, masyarakat dapat memanfaatkan teknologi ini dengan harga yang terjangkau. Di rumah, di sekolah, di tempat-tempat umum dapat menggunakan teknologi ini, bahkan dengan penawaran pemakaian secara unlimited. Di tempat-tempt publik pun, saat ini sudah banyak yang dilengkapi dengan fasilitas hotspot area, sehingga tanpa mengeluarkan sepeserpun uang, dapat mengakses teknologi internet dengan mudah.
Kemudahan lain dapat diperoleh dengan fasilitas kemudahan dalam penggunaan internet. Cukup dengan mengetik serangkaian kata melalui search engine (keyword) yang diinginkan, maka akan diperoleh dengan mudah data dan informasi yang disajikan oleh berbagai macam situs. Bahkan seringkali, kesalahan dalam menulis/mengetikkan keyword, dapat memunculkan data, gambar, atau informasi yang tidak diduga, bahkan tidak sedang dicari dan berbau pornografi. Ini karena internet memang menyuguhkan berbagai hal sehubungan dengan kebutuhan informasi dan komunikasi, baik yang bersifat publik mapun privat.
Perkembangan di bidang teknologi informasi yang semakin pesat saat ini merupakan jawaban atas makin komplesknya kebutuhan manusia akan informasi dan komunikasi Jaringan komunikasi dan informasi dunia atau dikenal juga dengan teknologi cyberspace, berisikan kumpulan informasi yang dapat diakses oleh semua orang dalam bentuk jaringan-jaringan komputer yang disebut jaringan internet. Internet adalah media penyedia informasi dan kegiatan komunitas komersial terbesar dan tumbuh berkembang dengan sangat pesat.
Cyberspace menawarkan manusia untuk “hidup” dalam dunia alternatif. Jagat raya cyberspace telah membawa masyarakat dalam berbagai sisi realitas baru yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, yang penuh dengan harapan, kesenangan, kemudahan dan pengembaraan seperti teleshoping, teleconference, teledildonic, virtual cafĂ©, virtual architecture, virtual museum, cybersex, cyberparty dan cyberorgasm. . Proses cybernation yang menimbulkan harapan akan kemudahan, kesenangan dan kesempatan itu ternyata tidak selamanya demikian karena dalam cyberspace juga terdapat sisi gelap yang perlu kita perhatikan, sebagaimana yang dimyatakan oleh Neill Barrett dan Mark D. Rasch bahwa internet mempunyai sisi gelap, sebagai sarana yang mendukung kejahatan, di mana 80% gambar di internet adalah gambar porno.
Cyberporn atau cybersex merupakan salah satu dari sisi negatif dari adanya teknologi informasi ini. Hal ini disebabkan sex merupakan suatu komoditi yang dapat membawa profit cukup besar dalam bisnis, terlebih melalui jasa e-commerce. Pornografi yang merambah sampai ke dunia maya dapat dengan mudah diakses oleh siapapun, tanpa batasan usia, kelamin, tingkat pendidikan, maupun stratifikasi sosial. Selain itu, kemudahan dan kenyamanan dalam bertransaksi sex secara online, melahirkan kepuasan dan keprivatan tersendiri, yang seringkali didalilkan tidak banyak merugikan, karena keresahan dan efek negatifnya tidak secara langsung dapat dirasakan.
Berdasarkan kenyataan inilah, penulis tertarik mengangkat permasalahan ini dari sudut pandang ilmu sosiologi hukum, karena keberadaan cyberporn di satu sisi dijadikan pembenaran sebagai sarana kebutuhan yang relatif responsif dengan kebutuhan jaman dan di sisi lain memberikan dampak yang cukup besar dalam masyarakat, sehingga tuntutan akan aturan hukum menjadi ultimum remedium atas kebijakan penal negara untuk memberikan ganjaran dengan sanksi hukumnya, dan sekaligus sebagai warning atau penentu norma sebagai kebijakan non penalnya. Permasalahan ini akan penulis bahas lebih lanjut dalam tulisan yang berjudul Fenomena Cyberporn dalam Perspektif Sosiologi Hukum.
II. PERMASALAHAN
Dalam tulisan ini, pokok permasalahan yang selanjutnya akan dipaparkan dalam pembahasan adalah :
1. Bagaimanakah fenomena cyberporn di Indonesia dan penegakan hukumnya?
2. Bagaimanakah fenomena cyberporn dalam perspektif sosiologi hukum ?
III. PEMBAHASAN
A. Fenomena Cyberporn
Perkembangan teknologi telah memberikan ruang dan peluang bagi penyebaran pornografi, sebut saja penggunaan komputer untuk menggandakan file-file bermuatan pornografi ke dalam VCD, kemudian dijual atau disewakan kepada orang yang berminat. Internet adalah salah satu sarana/media yang sering digunakan untuk melakukan transaksi dagang, penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi, penyebaran berita dan informasi, di sisi lain dimanfaatkan pula untuk menyebarluaskan pornografi dalam bentuk informasi elektronik berupa gambar, foto, kartun, gambar bergerak, dan bentuk lainnya, bahkan dalam transaksi seks.
Menurut Dimitri Mahayana internet merupakan knowledge big bang (ledakan besar pengetahuan) yang ditandai dengan komunikasi elektromagnetoopis via satelit maupun kabel, didukung oleh eksistensi jaringan telefoni yang telah ada dan akan segera didukung oleh ratusan satelit yang sedang dan akan diluncurkan.
Secara etimologi, pornografi berasal dari dua suku kata, yaitu pornos dan grafi. Pornos, artinya suatu perbuatan yang asusila (dalam hal yang berhubungan dengan seksual), atau perbuatan yang bersifat tidak senonoh atau cabul. Grafi adalah gambar atau tulisan, yang dalam arti luas yang isi atau artinya menunjukkan atau menggambarkan sesuatu yang bersifat asusila atau menyerang rasa kesusilaan di masyarakat.
Pornografi bersifat relatif, artinya tergantung pada ruang, waktu, tempat dan orangnya serta kebudayaan suatu bangsa. Bahkan dalam lingkungan suatu bangsa sendiri, terjadi variasi pengertian pornografi itu, misalnya antara suku Aceh dan Bali, Minahasa dan Bugis terjadi perbedaan yang mencolok sekali. Pornografi tradisional biasanya dilakukan melalui media lama seperti buku, majalah, film dan videotape. Kehadiran Internet dan cyberspace memberi warna tersendiri dalam persoalan pornografi.
Pornografi di internet berkaitan dengan isi atau content dari situs yang disajikan kepada pengaksesnya, sehingga Convention on Cybercrime dari Uni Eropa mengkategorikan pornografi ini dalam kategori Content-related offences yang terdapat dalam Title 3, article 9. Setidak-tidaknya ada empat pendapat yang berkaitan dengan pornografi sebagaimana disimpulkan oleh Jonathan Blumen, yaitu:
“Pornography is bad because it is violence and oppression (Catharine Mackinnon) Pornography must be tolerated for free speech reasons (Nadine Strossen) Pornography is good, liberating, allows us to grow as sexual beings (Wendy McElroy) Pornography is absolutely bad by religious commandement or other rule arising from a morality of prohition”.
Jaringan komunikasi global interaktif melalui fasilitas internet relay chat dapat digunakan untuk menyebarluaskan informasi tentang cerita ataupun gambar pornografi (baik untuk sisi gelap maupun sisi terang dari pornografi) atau disebut juga cybersex. Ada dua bentuk dari cybersex dalam ruang chatting, yaitu Computer mediated interactive masturbation in real time dan Computer mediated telling of interactive sexual stories (in real time) with the intent of arousal.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi,
pornografi adalah : gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Selanjutnya dinyatakan bahwa pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.
Berdasarkan pengertian pornografi yang terdapat dalam undang-undang tersebut dinyatakan pornografi secara luas, dalam arti yang dipublikasikan melalui berbagai bentuk media komunikasi. Namun, secara khusus masalah pornografi melalui dunia maya terdapat dalam lex specialie-nya yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
American Demographic Magazine yang menghitung jumlah situs porno dan jumlah halaman situs porno. Pada tahun 1997 terdapat 22.100 situs porno. Pada tahun 2000 meningkat menjadi 280.000 dan pada tahun 2003 meningkat hamper empat kali lipatnya, yaitu menjadi 1,3 juta situs porno. Sedangkan, halaman situs porno di dunia pada tahun 1998 terdapat 14 juta dan meningkat tajam pada tahun 2003, yaitu menjadi 260 juta. Pada tahun 2008, data terakhir halaman situs porno di dunia telah mencapai 420 juta.
Kenyataan ini tidak dapat terelakkan. Sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Robert Weiss dari Sexual Recovery Institute di Washington Times tahun 2000. Weiss menyatakan bahwa sex adalah topik no. 1 yang dicari di Internet. Studi lain yang dilakukan oleh MSNBC/Standford/Duquesne menyatakan bahwa 60% kunjungan internet adalah menuju ke situs sex (porno). Data ini disempurnakan oleh publikasi dari The Kaiser Family Foundation yang menyatakan bahwa 70% kunjungan pengguna Internet belasan tahun adalah menuju ke situs pornografi. Penelitian lain yang dikeluarkan oleh TopTenReviews.Com menyatakan bahwa sebenarnya dominasi pengunjung Internet di Amerika justru orang berumur 35-44 tahun (26%). Lengkapnya lihat dari gambar di bawah ini :
Age Prosentase (%)
18-24 13,61%
25-34 19,90%
35-44 25,50%
45-54 20,67%
55+ 20,32%
Menurut peneliti LIPI, Romi Satria Wahono dinyatakan bahwa setiap detiknya terdapat 28.258 orang melihat situs porno, setiap detiknya 372 pengguna Internet mengetikkan kata kunci tertentu di situs pencari untuk mencari konten pornografi, dan jumlah halaman situs pornografi di dunia mencapai 420 juta.
Penyebaran pornografi di dunia maya sangat berhubungan dengan industry pornografi yang melintasi batas antar negara. Amerika merupakan Negara penyumbang terbesar 89% situs pornografi di dunia. Diikuti oleh Jerman, Inggris, Australia, Jepang dan Belanda menyusul di belakangnya. meskipun Amerika penyumbang situs porno terbesar di dunia, ternyata hanya menduduki urutan keempat dalam jumlah pendapatan (revenue) dari industri pornografi di dunia. Pemenangnya justru China yang diikuti oleh Korea Selatan dan Jepang. Total pendapatan pertahun industri pornografi di dunia adalah sekitar 97 miliar USD, ini setara dengan total pendapatan perusahaan besar di Amerika yaitu: Microsoft, Google, Amazon, eBay, Yahoo!, Apple, Netflix and EarthLink. Ini menunjukkan betapa dahsyatnya industri pornografi di dunia. Sedikit berkaitan ini, salah satu tulisan di CNET tahun 1999 menyebutkan bahwa: Pornografi online adalah produk ecommerce yang secara konsisten menduduki peringkat pertama dalam bisnis di Internet. Dari berbagai data tentang pornografi Internet diatas, yang cukup mencengangkan adalah bahwa ternyata penikmat dan penerima ekses negatif dari industri pornografi di Internet bukan negara-negara produsen, tapi justru negara-negara kecil dan berkembang sebagai konsumen. Kita bisa lihat dari tren request pencarian dengan tiga kata kunci, yaitu xxx, porn dan sex, semuanya dikuasai oleh negara kecil atau berkembang seperti Pakistan, Afrika Selatan, India, Bolivia, Turki, dan juga Indonesia.
Keyword : sex
1 Pakistan
2 India
3 Egypt
4 Turkey
5 Algeria
6 Morocco
7 Indonesia
8 Vietnam
9 Iran
10 Croatia
Menurut Dr. Mary Anne Layden seorang peneliti dari University of Pennsylvania, cyberporn membawa dampak yang tidak baik, yaitu :, meningkatnya kriminalitas. Ia mengatakan , ”Saya telah memberikan pendampingan terhadap pelaku dan korban kekerasan seksual selama 13 tahun. Dan saya belum pernah menangani 1 kasus pun yang tidak diakibatkan oleh Pornografi. Pornografi memicu agresifitas dan pada akhirnya memicu seseorang untuk melakukan perbuatan kriminal.”
Kedua, resiko terhadap psikologis dan pendidikan. Menurut VB Cline, seorang riserter masalah psikososial dan pornografi, mengungkapkan ada 4 tahapan perkembangan kecanduan seksual pada konsumer pornografi : (1) Adiksi atau ketagihan, (2) Eskalasi, yaitu : peningkatan kualitas ketagihan menjadi perilaku yang semakin menyimpang, (3) Desentisisasi, yaitu : kian menipisnya sensitifitas, dan (4) Acting Out, yaitu : Pecandu pornografi mulai mempraktekan. Ketiga, resiko kesehatan. Menurut Divisi Kesehatan ASA Indonesia Dewi Inong Irara, spesialis penyakit kulit dan kelamin, memaparkan resiko kesehatan yang diakibatkan oleh Penyakit Menular Seks (PMS ) akibat pornografi adalah Infeksi alat kelamin, komplikasi, penyakit alat kelamin dalam kronis, kanker kelamin, menular bayi dalam kandungan, dan HIV/ AIDS. Keempat, resiko kultural ( pergeseran nilai-nilai ). Saat ini sudah bisa terlihat jelas akibat industri pornografi, banyak nilai-nilai budaya pada masyarakat tidak dihiraukan lagi, seperti hidupnya dunia malam yang identik dengan tempat-tempat pelacuran dan meningkatnya pelaku pornografi.
B. Penegakan Hukum Cyberporn di Indonesia
Untuk mencegah dan menanggulangi maraknya pengakses situs porno, maka hukum pidana dapat digunakan untuk sebagai alat meskipun hanya bersifat pengobatan simptomatik. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan yang meliputi adanya keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial dan keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non penal. Upaya penanggulangan kejahatan yang integral mengandung arti pula bahwa masyarakat dengan seluruh potensinya harus dipandang sebagai bagian dari politik kriminal.
Dalam KUHP, pornografi merupakan kejahatan yang termasuk golongan tindak pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid) yang termuat dalam Pasal 282-283. Perbuatan-perbuatan yang tercantum dalam Pasal 282 KUHP baik yang terdapat dalam ayat (1), (2) maupun (3) dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu:
a. menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan dengan terang-terangan tulisan dan sebagainya;
b. membuat, membawa masuk, mengirimkan langsung, membawa keluar atau menyediakan tulisan dan sebagainya untuk disiarkan, dipertontonkan atau ditempelkan dengan terang-terangan;
c. dengan terang-terangan atau dengan menyiarkan suatu tulisan menawarkan dengan tidak diminta atau menunjukkan, bahwa tulisan dan sebagainya itu boleh di dapat.
Di luar KUHP, negara telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi, diantaranya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun, keberadaan peraturan perundang-undangan tersebut masih dianggap kurang memadai dan belum mampu memenuhi kebutuhan penegakan hukum untuk memberantas pornografi secara efektif. Oleh karena itu, sejak tahun 2006 telah bergulir pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dalam perjalanannya, RUU APP berganti menjadi RUU Pornografi dan pada tanggal 30 Oktober 2008, DPR RI mengesahkan UU Pornografi melalui Sidang Paripurna dengan nama Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Selanjutnya, untuk mencegah dan memberantas penyebaran pornografi lewat komputer dan internet, Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi dalam bentuk informasi elektronik yakni UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada pasal 27 ayat (1) dinyatakan bahwa :
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Sanksi pidana akan dikenakan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan seperti dinyatakan dalam pasal 27 ayat 1, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 45 ayat (1), bahwa :
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dengan berlakunya UU Pornografi, UU ITE dan peraturan perundangan-undangan yang memuat larangan pornografi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Pornografi. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 44 UU Pornografi.
Bagi orang yang memiliki website yang menyajikan cerita porno, foto bugil, film porno, dan berbagai informasi bermuatan pornografi akan dijerat dengan pasal 4 ayat (1) UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Selain itu, juga telah ada Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2001 menetapkan Kerangka Kebijakan Pengembangan dan Pendayagunaan Teknologi Telematika (ICT). di Indonesia yang tertuang dalam INPRES No. 6 Tahun 2001. Dalam INPRES tersebut dinyatakan bahwa warung internet (warnet) merupakan ujung tombak untuk mencapai tujuan yang diinginkan di samping warung telekomunikasi (wartel). Teknologi warung internet dimungkinkan untuk masuk ke desa-desa terpencil di pegunungan maupun di pantai asal ada infrastruktur telekomunikasi meskipun mungkin tidak sebaik di perkotaan.
Ini berarti teknologi informasi melalui internet telah merambah dan masuk ke daerah-daerah tanpa mampu dihindari. Di satu sisi, bermanfaat membuka cakrawala ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat di daerah. Namun, kemanfaatan ini apakah sudah sesuai dengan kemungkinan resiko dan efek negative yang mungkin timbul dengan keberadaan internet? Belum tentu. Selain menjadi ujung tombak dalam rangka pemberdayaan teknologi informasi dan telematika, warung internet juga merupakan ujung tombak bagi para penikmat situs-situs porno. Dalam konteks pencegahan dan penanggulangan cyberporn ini, pengusaha atau pemilik warnet menghadapi dilema. Dilema-dilema tersebut adalah:
a. situs porno merupakan daya tarik yang luar biasa dan menjadi alasan anak muda untuk mengenal dan menikmati internet; dan bagi pengusaha ini merupakan icon keuntungan;
b. adanya larangan atau himbauan bagi penunjung untuk tidak mengakses situs porno akan menurunkan jumlah pengunjung;
c. untuk mengontrol pengguna internet agar tidak memasuki situs porno sangat sulit karena diperlukan biaya yang relative besar
d. pembatasan usia pengunjung warnet akan semakin mempersulit pemasaran yang akibat lebih jauh mengakibatkan gulung tikar usaha warnet;
e. tidak semua pengusaha atau pemilik warnet mempunyai kemampuan untuk memasang software yang mampu menyaring situs-situs mana yang boleh dibuka.
Kebijakan penal yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, dalam penegakan hukumnya belum dapat berjalan dengan baik karena terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaannya. Ada banyaknya persepsi dalam memberikan penafsiran unsur-unsur yang terdapat dalam pasal-pasal tentang pornografi. Seringkali, penafsiran pornografi dan kesusilaan berbeda di satu daerah dengan daerah yang lain. Di samping itu adalah kesulitan dari aparat keamanan untuk melacak jejak keberadaan pemilik situs atau website yang menawarkan gambar atau tulisan porno, krn locus delicte dari cyberporn adalah cyberspace itu sendiri. Diperlukan keahlian dan kemampuan berselancar di dunia maya untuk mengikuti modus cyberporn yang terus menerus berubah seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan telematika yang ada. Selain itu adalah keengganan hakim-hakim kita untuk mendobrak tradisi lama yang legism oriented dengan pendekatan baru yang mengedepankan searching for turth and justice.
Kelemahan-kelemahan yang ada dalam setiap kebijakan penal, harus mampu diimbangi dan diminimalisir dengan kebijakan non penalnya, sehingga kebijakan penal dan non penal harus berjalan beriringan dan saling melengkapi, sehingga efektivitas penegakan hokum tidak mengalami stagnasi. Pemerintah dan Pemerintah Daerah memiliki kewajiban melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dengan cara melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran dan penyaringan/ pemfilteran data dan informasi melalui internet. Pemerintah daerah berwenang mengembangkan edukasi dengan mengadakan penyuluhan ke sekolah-sekolah tentang bahaya dan dampak pornografi. Di sisi lain, peran serta masyarakat diharapkan dapat ikut berperan serta untuk mencegah penyebarluasan pornografi dengan melaporkan pelanggaran, melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang dampak negative pornografi dan upaya pencegahannya.
Kebijakan non penal dapat pula dilakukan dengan melibatkan berbagai komponen dalam masyarakat seperti pengusaha warnet/jasa layanan internet, masyarakat dan pengguna itu sendiri. Walaupun di dalam praktiknya koordinasi ini sulit dilakukan karena terjadi pertentangan di antara komponen masyarakat tersebut karena di satu sisi pornografi merupakan daya tarik dari internet (pengusaha warnet) yang berharap keuntungan akan datang dan pada sisi lain dari keinginan masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai kemasyarakatan dan kebudayaan.
Untuk mencapai tujuan bersama berupa keinginan untuk memberantas pornografi, maka harus ada kompromi di antara mereka. Masyarakat berkeinginan agar pornografi di internet dapat ditekan sehingga dampak buruk yang muncul tidak akan membahayakan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat. Hal ini menjadi tugas bersama antara anggota masyarakat, pengakses, orang tua (terutama yang anaknya senang main internet dan juga dirinya sendiri), pengusaha atau pemilik warnet dan aparat penegak hukum. Bagi para pemilik personal computer yang terhubung ke internet (dan juga warnet-warnet yang mampu untuk itu) terdapat beberapa software yang dapat digunakan untuk menyaring situs-situs mana yang tidak boleh dibuka oleh mereka yang belum cukup umur.
Selain itu, dapat dilakukan pula dengan menggunakan pendekatan sosial budaya (berupa ikut campurnya mereka-mereka yang terlibat dalam bisnis layanan jasa internet) dan secara teknis atau techno prevention berupa penambahan software-software tertentu pada perangkat komputer yang digunakan untuk akses ke internet.
C. Fenomena Cyberporn dalam Perspektif Sosiologi Hukum
Sosiologi hokum memandang hokum sebagai bentuk perwujudan dari kehendak masyarakat. Karena pada dasarnya, hokum itu ada karena ada masyarakat. Ketika terbentuk suatu komunal yang bernama masyarakat, diperlukan aturan-aturan yang pada dasarnya dikehendaki oleh masyarakat itu sendiri untuk mengatur kehidupan kebersamaan mereka guna mencapai tujuan-tujuan. Keberadaan masyarakat hendaknya dipahami sebagai bagian yang integral terhadap hukum.
Menurut Emille Durkheim, “manusia adalah manusia, hanya karena ia hidup dalam masyarakat. Kehidupan kolektif itu tidak dilahirkan dari kehidupan individual, tetapi sebaliknya, kehidupan individual dilahirkan dari kehidupan kolektif”. Selanjutnya dikatakan bahwa, hukum merupakan pencerminan dan sekaligus juga indeks dari solidaritas sosial. Bersama-sama dengan moralitas, hukum merupakan perwujudan dan sekaligus sarana untuk mencapai harmoni sosial.
Secara sosiologi hukum makro, kenyataan (das sein) merupakan suatu realitas yang tidak dapat terpisahkan dari system social. Ini berarti, adanya kesinambungan dan kesatuan di antara bagian-bagian sebagai keseluruhan elemen di masyarakat, sebagaimana dinyatakan oleh M. Munandar Soelaeman, bahwa masyarakat merupakan suatu system social yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang salig berkaitan dan menyatu dalam kesinambungan. Perubahan yang terjadi dalam satu bagian akan mempengaruhi bagian yang lain dan setiap elemen dalam satu system social fungsional terhadap yang lain. Ini disebut dengan teori fungsionalisme structural, yang menjadi bagian teori dari paradigma fakta social.
Keberadaan cyberporn di Indonesia lengkap dengan teknologi informasi dan telematika yang menyertainya merupakan suatu realitas teknologi yang masuk ke Indonesia melalui kecanggihan cyberspace. Oleh karenannya, masyarakat Indonesia tidak dapat mengelakkannya karena merupakan konsekuensi logis dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita tidak dapat membatasi diri dari pergaulan dunia dan menutup diri akan kebutuhan teknologi di jaman globalisasi ini.
Masyarakat Indonesia memiliki karakteristik sendiri, dengan keunggulan nilai-nilai dan norma-norma yang secara menginternal menjadi satu kesatuan dari bagian masyarakat. Norma-norma dan pola nilai ini disebut dengan institutions atau biasa disebut dengan pranata. Dalam sosiologi modern, pranata social ini dipandang sebagai antar hubungan norma-norma dan nilai-nilai yang mengitari aktifitas manusia dalam masyarakat. Pornografi adalah hal yang pada dasarnya melukai norma-norma di masyarakat Indonesia yang selama ini dipegang teguh. Oleh karena itulah, kebijakan penal yang tertuang dalam sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur permasalahan pornografi telah diundangkan. Das Sollen yang yang merupakan arah tujuan hokum yang bersifat abstrak dan harapan akan hokum yang seharusnya (ideal), masih menempatkan nilai-nilai kesusilaan dan kesopanan yang dipegang teguh oleh masyarakat sebagai landasan filosofis dari peraturan perundang-undangan tersebut. Walaupun tidak dapat dipungkiri kekurangan dan kelemahan tentang substansi hukumnya, yang seringkali mengalami ketegangan (spannungsverhaltnis) karena banyak hal dalam substansi undang-undang yang tidak sejalan dengan kultur hukumnya, seperti ancaman hukuman yang sangat berbeda ketika Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang ITE tentang pasal pornografi dibandingkan. Padahal keduanya merupakan undang-undang di luar KUHP yang memiliki fungsi sama sebagai lex specialis dalam permasalahan pornografi.
Namun, menurut teori fungsionalisme structural, keberadaan cyberporn menguji kekuatan nilai dan norma yang selama ini membingkai keteraturan di dalam masyarakat sekaligus menjadi skala dan parameter, sejauhmanakah cyberporn mampu menggilas habis kekuatan nilai dan norma yang selama ini dipertahankan di masyarakat. Sistem social yang disangga oleh kekuatan nilai dan norma apakah akan runtuh sedemikian dahsyatnya dengan masuknya cyberporn. Karena menurut teori, masyarakat senantiasa berada dalam keseimbangan (equilibrium) karena di masyarakat telah dilengkapi dengan system social yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu sehingga masyarakat senantiasa seimbang. Semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi masyarakat.
Melihat fenomena cyberporn di Indonesia sebagaimana telah penulis jelaskan, tampak bahwa efek negative dari cyberporn telah mewabah dan sebagian telah merusak generasi, dari mulai anak-anak generasi muda dan bahkan sampai usia tua. Sedangkan pada kenyataannya, keberadaan internet telah masuk sampai ke daerah-daerah di pinggiran kota dan pedalaman. Terlebih Indonesia telah masuk dalam peringkat 10 besar pengguna internet yang memanfaatkan cyberporn dalam aktifitasnya di dunia maya. Ini berarti, banyak pranata yang telah ditinggalkan dan tergilas oleh keberadaan cyberporn. Nilai-nilai dan norma-norma yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat semakin terkikis, sehingga ukuran atau patokan yang mendasari nilai-nilai mengalami pergeseran, dari yang tidak baik, menjadi lumayan baik, atau bahkan menjadi baik, begitu pula sebaliknya. Demikian juga dengan patokan berperilaku yang mendasari norma-norma, menjadi semakin kabur.
Namun di sisi lain, keberadaan cyberporn telah melahirkan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pornografi, yaitu UU No. 11 Tahun 2008 dan UU No. 44 Tahun 2008. Walaupun sangat terlambat dan kurang reponsif akan perkembangan masyarakat dan globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, namun secara fungsionalisme structural, keberadaan undang-undang ini merupakan bukti keseimbangan yang ingin diwujudkan sebagai bentuk penolakan akan adanya pornografi, sekaligus bukti kekokohan pranata yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia.
IV. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Cyberporn atau pornografi di dunia maya telah menjadi bagian satu paket dengan masuknya teknologi informasi dan telematika internet ke Indonesia yang ternyata membawa pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat, sehingga dirasakan dampak negatifnya.
2. Penegakan hokum cyberporn dilakukan dengan dua kebijakan, yaitu kebijakan penal melalui peraturan perundang-undangan, yaitu diundangkan Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik dan kebijakan non penal melalui sosialisasi, pendidikan upaya-upaya preventif lainnya yang berfungsi mencegah dampak negative keberadaan cyberporn bagi masyarakat.
3. Keberadaan cyberporn secara sosiologis telah mempengaruhi efektivitas nilai-nilai dan norma-norma kemasyarakatan sebagai pranata yang selama ini mengatur kehidupan masyarakat, sehingga terjadi keterkikisan nilai-nilai yang pada akhirnya dikhawatirkan akan meruntuhkan tatanan nilai di masyarakat. Oleh karena itu, secara fungsionalisme structural, kebijakan penanggulangan pidana secara penal dan non penal adalah bukti keseimbangan yang ingin diwujudkan sebagai bentuk penolakan akan adanya pornografi, sekaligus bukti kekokohan pranata yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, C.K., 1964, Law in the Making, New York: Oxford University Press.
Arief, Barda Nawawi, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Barrett, Neill, 1997, Digital Crime, Policing the Cybernation, London, Kogan Page Ltd.
Blumen, Jonathan, 1995, Is Pornography Bad ? http://www.spectacle. org/Is_Pornography_Bad.html.
Chazawi, Adami, 2005, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Friedman, Wolfgang, 1953, Legal Theory, London, Stevens and Sons,.
Hamman, Robin B., 1996, Cyberorgasm, Cybersex Amongst Multiple-Selves and Cyborgs in the Narrow-Bandwidth Space of America Online Chat Rooms, 30 September, versi elektronik dapat dijumpai di http://www.cybersoc.com/Cyberorgasm.html.
Hamzah, Andi, 1987, Pornografi Dalam Hukum Pidana, Suatu Studi Perbandingan, Jakarta, Bina Mulia,.
Hunt, Alan, 1978, The Sociological Movementin Law, London, Billing and Sons.
Mahayana, Dimitri, 2000, Menjemput Masa Depan, Futuristik dan Rekayasa Masyarakat Menuju Era Global, Bandung, Rosda.
Makarim, Edmon, 2005, Pengantar Hukum Telematika, Jakarta, Rajagrafindo Perkasa.
Perdana, Ricky, 2009, Pornografi di Indonesia Semakin Mengganas, http://riky-perdana.blogspot.com/2009/01/pornografi-di-indonesia-semakin.html
Raharjo, Agus dan Sunaryo, 2002, Cyberporn (Studi Tentang Aspek Hukum Pidana Pornografi Di Internet, Pencegahan dan Penanggulangannya), Jurnal Kosmik Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Vol. 2 No. 2.
Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bhakti.
Ritzer, George, 1980, Sociology: A Multiple Paradigm Science, Allyn and Bacon Inc.
Soelaeman, M. Munandar, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
TopTenReviews.Com
Wahono, Romi Satria, 2008, Tahukan Anda Beberapa Kenyataan ini? http://agungcyber.blogspot.com/2008/04/indonesia-rangking-7-kupas-tuntas.html.
Waisan, Ronny, 2009, Aturan Tindak Pidana dalam UU Pornografi dan UU ITE tentang Informasi Elektronik bermuatan Pornografi, http://ronny-hukum.blogspot.com/2009/04/tinjauan-aturan-tindak-pidana-dalam-uu_01.html.

Selasa, 05 April 2011

Manfaat teh yang sudah basi

Banyak sekali pria Indonesia yang mengeluhkan akan Alat kelminnya, dimana sangat banyak sekali pria yang mengeluhkan alat kelaminnya yang sangat cepat sekali ereksi dan ujung-ujungnya untuk Ejakulasi dini, dimana ejakulasi dini adalah penyakit yang selalu terjadi pada pria dimana cepat ereksi saat berhubungan dengan pacarnya, untuk itu sangat banyak sekali pria yang mencari cara memperbesar alat kelaminnya, maka dari itu banyak sekali obat dan dukun yang bertujuan untuk mencari cara memperbesar alat kelamin pria
Dalam cara memperbesar alat kelamin pria seharusnya ada cara tertentu yang harus dilakukan, misalnya kalau ada pria yang sedang terkena penyakit ejakulasi dini, maka dia seharusnya melakukan senam Kegel, dimana menggerakkan otot yang ada di pantat untuk dapat berhubungan lebuh kama, dan kalau untuk memperbesar alat kelamin pria ada baiknya untuk menyiapkan teh cair yang sudah basi kemudian sebelum mandi alat kelamin pria tersebut segera di celupkan pada teh basi selama 10 menit dan kemudian setelah 15 menit langsung saja angkat alat kelamin anda dan langsung biarkan saja selama 30 menit, kemudian pijat-pijat sebentar didaerah alat kelamin anda, dan lakukan cara memperbesar alat kelamin ini selama 2 kali sehari.

Kemudian anda akan merasakan sendiri bagaimana kehebatan dari cara memperbesar alat kelamin pria dengan cepat mungkin hanya menyita waktu selama 3 minggu, dan anda akan mendapatkan ukuran yang berbeda dari ukuran alat kelamin anda,