Senin, 15 Juli 2019

Lesing Sungai lilin.
Butuh Dana tunai jaminkan BPKB motor dan mobil anda di FIFGROUP Sungai lilin. Jl. Palembang jambi dekat bank mandiri dan Rarat ganda. Hub. Heri : 081272821847

Rabu, 18 April 2012

kaver by_heri

daftar pustaka

DAFTAR PUSTAKA

Sumber dari buku :
Al-Qur’an dan Terjemahan
Abdullah, Malan. 1989. Pedoman Pembuatan Skripsi dan Makalah Sarjana Palembang: Badan Penerbit Fakultas Syariah IAIN Raden Fatah
al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafizh. 2005. Kunci Memahami Hukum Pernikahan, Palembang: Darul Hijrah
Chaniago, Arman. 2000. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Bandung: Pustaka Setia
Chazawi, Adami. 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: RajaGrafindo Persada
. 2009. Tindak Pidana Pornografi. Surabaya: Putra Media Nusantara
Bungin, Burhan. 2003. Pornomedia: Kontruksi Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks di Media Massa. Jakarta: Kencana
Dipoyudo, Kirdi. 1985. Keadilan Sosiologi Jakarta: Rajawali
Djubaedah, Neng. 2003. Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam, Bogor: Kencana
Djazuli. 1997 Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Doi, Rahman. Hudud dan Kewarisan, Jakarta: Rajagrafindo Persada
Guza, Afnil. 2008. Undang-Undang Pornografi UU RI No. 44 Tahun 2008. Jakarta: Penerbit Asa Mandiri
Hamidy, Mu’ammal. 1993. Nailul Authur Jilid I (Himpunan Hadits-Hadits Hukum), Surabaya: Bina Ilmu
Husaini, Adian. 2001. Rajam dalam Arus Budaya Syahwat, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Mas’ud, Abdurrahman. 2006. Negara Bangsa Vs Negara Syariah, Yogyakarta: Gamma Media
Mas’adi, Ghufron. 1997. Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Rajagrafindo Persada
Moeljanto. 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta
Nata, Abuddin. 1998. Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajagrafindo Persada
Raharjo, Agus. 2002. Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi. Bandung: Citra Aditya Bakti
Rohayana, Ade, Dedi. 1987. Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Studi Komperatif Delapan Mazhab Fiqh), Jakarta: Riora Cipta
Rasjid, Sulaiman. 2005. Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensido
Romli. 2006. Ushul Fiqh I (Metodologi Penetapan Hukum Islam), Palembang: IAIN Raden Fatah Press
Rusyid, Ibnu. 1990. Bidayatu’l Mujtahid Juz 1, Semarang: As-Syifa
Suma, Muhammad, Amin. 2001. Pidana Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus
Soekanto, Soerjono, dan Otje Salman. 1987. Disiplin Hukum dan Disiplin Sosiologi Jakarta: Rajawali Pers

Soekanto, Soerjono. 1980. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada
. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press
Soemardi, Dedi. 1986. Sumber-Sumber Hukum Positif. Bandung: Alumni
Solahuddin. 2007. KUHP DAN KUHAP, Jakarta: Transmedia pustaka
Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh, Bogor: Kencana
Utami, Pratiwi. 2008. Undang-Undang ITE Nomor 11 Tahun 2008. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher
Willis, S Sofyan. 2008. Remaja dan Masalahnya, Bandung: Alfabeta
Yusuf, Imaning. 2009. Fiqh Jinayah I. Palembang: Fatah Press
Sumber dari internet :
Asyrofah, Firda. 2009. http://blog.math.uny.ac.id/firdaasyrofah/2009/10/25/ pengertian-audio-video/ di akses tanggal 5 Mei 2011

Antasari, 2010. http://antasari.net/remaja-mesum/ di akses tanggal 30 Maret 2011

http://artikelkesehatan.onsugar.com/akibat-kecanduan-pornografi-lebih-parah-dari-kecanduan-narkoba-14223918/ di akses 29 maret 2011
http://buser.liputan6.com/berita/201009/294076/perekam-dan-penyebar-video- mesum-ditangkap.html/ diakses.Tanggal 27 Desember 2010
http://legalitas.org/ di akses 29 Desember 2010

http://www.doktertomi.com/2009/04/13/dahsyatnya-kerusakan-otak-anak-akibat-kecanduan-pornografi-dan-narkoba-dari-tinjauan-kesehatan-intelegensia/ diakses 29 maret 2011

http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/terkait-video-ariel-indonesia-pengunduh-situs-porno-ke-3-di-dunia.html di akses 27 desember 2011

Ma'ruf, Farid. 2010. http://konsultasi.wordpress.com/2010/07/02/bolehkah-merekam -hubungan-suami-istri/ di akses tanggal 08 februari 2011

Masyithoh, Novita, Dewi. 2010. http://saepudinonline.wordpress.com/2010/11/ 12/fenomena-cyberporn-dalam-perspektif-sosiologi-hukum/ di akses tanggal 29 Maret 2011

bab 4 by_heri

BAB IV
PENUTUP

1. Simpulan
Simpulan yang dapat di ambil dari pembahasan skripsi ini adalah:
Adapun yang menjadi landasan pemikiran dilarangnya pembuatan dan penyebaran video porno melalui internet yang terdapat dalam perumusan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang pornografi yaitu landasan Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis. Dari segi Filosofis ini pornografi merupakan akar permasalahan yang akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial, dan merosotnya moral generasi penerus bangsa. Dari segi Yuridis, hukum berfungsi untuk melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan, termasuk pornografi. Ini diatur dalam Perundang-undangan di Indonesia, yaitu dalam KUHP, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Undang-undang Pornografi. Dan dari segi Sosiologis, banyak norma-norma, kebiasaan dan adat istiadat yang telah bergeser bahkan ditinggalkan dan tergilas habis oleh keberadaan pornografi, pornografi juga menimbulkan kejahatan kejahatan baru seperti banyaknya kasus perkosaan, perzinaan, aborsi, bahkan pembunuhan.
Berdasarkan dari data-data yang peneliti temukan maka pembuatan dan penyebaran video porno melalui internet yang menampakkan aurat adalah termasuk kategori tindak pidana (Fiqh Al-Jinayah). Adapun yang menjadi batasan pornografi dalam Islam yaitu larangan memperlihatkan dan melihat aurat, keharaman mendekati zina, dan keharaman membuat dan melakukan yang menjadi jalan pada perbuatan haram. Dan sanksi yang diberikan kepada pelaku dalam Fiqh Jinayah adalah hukum ta'zir. Adapun sanksi ta’zir yang diberikan adalah sanksi pengasingan yaitu dengan hukuman penjara. Terhadap hukuman pengasingan, hukuman ini sering terjadi di Indonesia dalam penyelesaian perkara.

2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut :
Hukum berfungsi untuk melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan, termasuk pornografi. Karena pornografi sangat merusak moral anak bangsa terutama anak-anak, remaja dan masyarakat pada umumnya. Dalam pemberantasannya perlu harus melibatkan berbagai pihak yang berwenang, seperti pemerintah, parlemen, akademisi, aparat penegak hukum, pakar internet, pakar telematika, operator telekomunikasi dan penyedia jasa internet.
Akan tetapi semua itu kembali kepada diri kita masing-masing. Hanya dengan benteng keimanan semua godaan yang ada akan redam dengan sendirinya. Yang dimulai dari diri sendiri dengan menggalakkan internet yang sehat akan menghindarkan kita dari pengaruh negatif dari internet.

Jumat, 13 April 2012

bab 3 by_heri

BAB III
PEMBUATAN DAN PEYEBARAN VIDEO PORNO MELALUI INTERNET DI INDONESIA

Landasan Pemikiran Dilarangnya Pembuatan dan Penyebaran Video Porno Melalui Internet
Hampir semua Negara meyakini bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah salah satu faktor yang penting dalam menopang pertumbuhan dan kemajuan Negara. Negara yang tidak memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi akan tertinggal dari peradapan. (Raharjo, 2002: 14)
Ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini telah dijadikan sebagai suatu paspor atau tanda masuk satu-satunya menuju kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan. Perkembangan teknologi di Indonesia betul-betul harus memperhatikan dari berbagai segi dan aspek yang dapat ditimbulkan akibat pengembangan teknologi tersebut. Apabila tidak dilakukan, maka akan menimbulkan masalah-masalah baru, salah satu wujud dari sisi negatif penggunaan teknologi adalah kejahatan dengan modus yang baru penyebaran konten-konten porno khususnya video porno melalui internet.
Dalam penyebaran konten-konten porno, para pelaku pelanggaran kesusilaan selalu memanfaatkan semua media-media yang ada, baik media cetak maupun media elektronik. seperti dalam bentuk majalah-majalah porno, VCD porno, media komunikasi seperti handphone, bahkan kecanggihan teknologi internet yang saat ini marak di masyarakat. Penyebaran-penyebaran konten porno inilah yang menyumbang besar dalam merusak moral generasi muda saat ini. Generasi yang akan menjadi cikal bakal dalam melanjutkan roda pemerintahan. Apabila generasi muda sudah disuguhi dengan berbagai konten porno ini jelas akan semakin merusak moral bangsa.
Dalam rancangan Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang pornografi, terdapat beberapa landasan pemikiran dilarangnya pembuatan dan penyebaran video pornografi melalui internet, Adapun yang menjadi landasan pemikiran dilarangnya pembuatan dan penyebaran video porno melalui internet yaitu landasan Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis.
A. Landasan Filosofis
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu, penyebaran konten-konten porno dalam bentuk video porno yang tersebar luas melalui internet dapat dengan mudah di akses oleh semua lapisan masyarakat, tidak kenal batasan usia, kelamin, ataupun tingkat pendidikan seseorang. Selain itu, kemudahan dan kenyamanan dalam bertransaksi dalam penyebaran video porno yang seringkali menjadi alasan tidak banyak merugikan, karena keresahan dan efek negatifnya tidak secara langsung dapat dirasakan. Padahal fenomena ini telah merusak moral dan tatanan kehidupan dalam masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat, Negara wajib memberikan perlindungan terhadap setiap warga Negaranya, masyarakat yang pada dasarnya menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber dari ajaran agamanya, agar tercipta kerukunan dan ketentraman dalam masyarakat itu sendiri. Moral atau prilaku yang baik merupakan kepribadian yang dipegang teguh dan menjadi patokan dalam kehidupan bermasyarakat. Kehadiran pornografi telah merusak moral dan tananan nilai-nilai kehidupan yang baik di dalam masyarakat.
Pornografi merupakan akar permasalahan yang akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial, seperti penyimpangan perilaku, pelacuran, seks bebas, penyakit mematikan HIV/AIDS dan merosotnya moral generasi penerus bangsa. Korban pornografi tidak hanya pada orang-orang yang melakukan penyimpangan seksual atau perilaku, tetapi juga termasuk pelaku atau model dalam video tersebut.
Manusia sebagai makhluk yang sempurna juga memiliki nafsu yang ikut berperan mengarahkan atau mempengaruhi perilakunya sehingga ada kecenderungan manusia melakukan perbuatan-perbuatan asusila. Keberadaan akal dan nafsu dalam diri manusia tersebut menimbulkan suatu keadaan perilaku yang mengarah kepada perbuatan baik dan buruk seorang manusia. Pada dasarnya manusia itu mampu menekan nafsunya menggunakan akal yang dimilikinya agar setiap perilakunya menjadikan perilaku yang bermoral dan terarah. Namun pada kenyataannya tidak semua orang mampu menggunakan akal untuk menekan nafsunya sendiri. Hanya dengan keimanan yang akan mampu menjaga kita dari pengaruh buruk pornografi dalam bentuk apapun.
B. Landasan Yuridis
Dalam konteks hukum, konsep mengenai pembuatan dan penyebaran video porno melalui internet di atur dalam Perundang-undangan di Indonesia yaitu sebagai berikut :

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Mengenai pelanggaran kesusilaan, jika kita melihat secara jelas video porno tersebut akan menjadi urusan publik mana kala tersebar dengan sengaja oleh pembuat sesuai dengan ketentuan KUHP pada Pasal 282 ayat 1. Ada pun bunyi Pasal 282 ayat 1 sebagai berikut:
“Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya kedalam Negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari Negeri, atau memiliki persediaan, atau pun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.” (Solahuddin, 2007: 95)

Sedangkan dalam Pasal 533 disebutkan : “diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah, barang siapa di tempat untuk lalu lintas umum dengan terang-terangan mempertunjukkan atau menempelkan tulisan dengan judul, kulit atau isi yang dibikin terbaca maupun gambar atau benda yang mampu membangkitkan nafsu birahi pada remaja.”

Dalam Pasal 282 terdapat istilah melanggar kesusilaan umum sedangkan Pasal 533 menggunakan istilah yang dapat menimbulkan nafsu birahi. Jadi untuk kasus pornografi dalam KUHP dalam Pasal 282 dan Pasal 533 tersebut harus digabungkan dalam upaya menjerat pelaku tindak kriminal pornografi. Menurut Pasal tersebut, subyek hukum yang dapat di pidana adalah seseorang yang dengan sengaja atau seseorang yang nyata-nyata menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan di muka umum secara sengaja gambar atau benda yang melanggar kesusilaan. Namun jika di lihat dari bentuk-bentuk kejahatan yang diatur dalam KUHP tersebut, maka kesemuanya termasuk dalam kategori pornografi. Walaupun demikian berdasar pada pengertian tentang apa yang dimaksud dengan kesopanan atau kesusilaan menunjukkan dalam KUHP tidak terdapat adanya legalisasi yang mengatur masalah pornografi.
Di luar KUHP, Negara telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi, diantaranya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 Tentang Perfilman, Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, hingga Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Namun, keberadaan peraturan perundang-undangan tersebut masih dianggap kurang memadai dan belum mampu memenuhi kebutuhan penegakan hukum untuk memberantas pornografi secara efektif.
Selanjutnya, untuk mencegah dan memberantas penyebaran pornografi baik melalui media-media cetak maupun elektronik dan juga lewat komputer dan internet, Indonesia telah memiliki peraturan Perundang-undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi dalam bentuk informasi elektronik yakni Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
2. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik bertujuan untuk menjamin kepastian hukum di dalam informasi dan transaksi elektronik. Di dalam Perundang-undangan ini terdapat sebuah aturan mengenai kesusilaan, yaitu pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) sebagai berikut: pada Pasal 27 ayat 1 berbunyi: ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
Ini sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan karena sesuai dengan tujuan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertipan umum. Sesuai dalam pasal 4 Undang-Undang ini dilaksanakan dengan tujuan untuk :
Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia.
Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan publik.
Membuka kepada setiap orang untuk mewujudkan pemikiran dalam pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin.
Memberi rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan Penyelenggara Teknologi Informasi.
Sanksi pidana akan dikenakan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan seperti dinyatakan dalam Pasal 27 ayat 1 yakni sesuai dengan ketentuan pidana pada pasal 45 yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Berdasarkan pasal tersebut subyek hukum dari pasal itu adalah seseorang yang dengan sengaja melakukan distribusi, transmisi, dan membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan. Adapun dakwaan terhadap penyalahgunaan pasal tersebut hanyalah kepada pihak yang menyebarkan atau mengupload (mengunggah) keranah publik melalui internet.
3. Undang-Undang Pornografi
Dalam penjelasan Undang-undang Pornografi ini menyebutkan bahwa Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembangluasnya pornografi ditengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan pencabulan.
Dalam Undang-Undang ini pornografi terdapat Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) Bab I Ketentuan Umum bahwa:
“Pornografi adalah: gambar, sketsa, ilustrasi foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan atau pertunjukan dimuka umum, yang membuat kecabulan dan eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Dan jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetak lainnya.” (Guza, 2008: 2)

Undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukum dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan dan disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. Untuk memberi perlindungan terhadap korban pornografi, dan melibatkan kepada semua pihak dalam hal ini Negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik, dan mental bagi setiap anak bangsa yang menjadi korban pelaku pornografi. Sesuai dengan tujuan dari Undang-Undang Pornografi yaitu :
Penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan,
Menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat.
Memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan ahklak masyarakat.
Memberi kepastian hukum dan perlindungan bagi warga Negara dari pornografi.
Mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
Undang-Undang Pornografi di buat oleh pembuat Undang-Undang ini agar dikemudian hari tidak ada alasan belum ada jenis atau sarana penyebaran pornografi yang dicantumkan di dalam perundangan tersebut. Adapun larangan terhadap penyebaran konten yang berisi pornografi adalah pada Pasal 29 jo pasal 4 ayat (1):
“Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000 (enam miliar rupiah)”.

Dalam penjelasan mengenai Pasal 4 ayat 1 ini menjelaskan bahwa membuat untuk kepentingan pribadi tidak dapat dipidana. Pada kasus video porno ini, setidaknya perbuatan yang mendekati rumusan pasal di atas hanyalah perbuatan membuat. Perbuatan membuat sendiri harus diketahui dulu motifnya, apabila motifnya hanya untuk untuk rekaman pribadi maka sudah barang tentu tidak dapat di pidana. Perbuatan membuat dapat di pidana apabila subyek hukum secara sengaja membuat dan meyenbarkannya kepada khalayak ramai sehingga publik dapat mengetahuinya. Menurut hukum pembuktian, apabila pelaku mengatakan ia membuat untuk kepentingan pribadi maka Jaksa Penuntut Umum harus dapat membuktikannya.
Dalam kasus pembuatan dan penyebaran video porno melalui internet, unsur kesengajaan haruslah dapat dibuktikan baik itu dari tindakan pelaku membantu mengupload (mengunggah) ke internet seperti menyediakan sarana, dalam upaya mengedit video menjadi format 3gp dan tindakan lainnya yang memudahkan video tersebut sampai bisa di akses oleh semua kalangan masyarakat. Pasal-pasal yang didakwakan jelas menyangkut penyebaran suatu konten yang melanggar kesusilaan.
Menurut penjelasan dalam Undang-undang pornografi, pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga Negara. Hal tersebut berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini adalah:
Menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama,
Memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga Negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya,
Melindungi setiap warga Negara, khususnya perempuan, anak dan generasi muda dari pengaruh buruk korban pornografi.
Undang-undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman bagi pelaku pelanggaran kesusilaan yang ada dimasyarakat, yakni hukuman berat, sedang, dan ringan sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya. Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-undang ini mewajibkan kepada semua pihak dalam hal ini, Negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
C. Landasan Sosiologis
Media tidak hanya memiliki efek langsung terhadap individu, akan tetapi juga mempengaruhi kultur dan norma serta nilai-nilai dari suatu masyarakat. Secara tidak langsung masyarakat telah tergantung terhadap media massa sebagai sumber informasi pengetahuan, dan kejadian-kejadian yang terjadi dalam masyarakat. Pornografi inilah yang telah meyusup kedalam media massa tersebut. Norma-norma, kebiasaan dan adat istiadat yang telah bergeser bahkan ditinggalkan dan tergilas habis oleh keberadaan pornografi. Nilai-nilai dan norma-norma yang selama ini di pegang teguh oleh masyarakat semakin terkikis, sehingga ukuran atau patokan yang mendasari nilai-nilai mengalami pergeseran. Demikian juga dengan patokan berperilaku yang mendasari norma-norma, menjadi semakin kabur.
Masyarakat Indonesia memiliki karakteristik tersendiri, dengan keunggulan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi satu kesatuan dari bagian masyarakat. Pornografi melalui internet merupakan hal yang pada dasarnya melukai norma-norma yang ada di masyarakat Indonesia. Masyarakat yang masih menempatkan nilai-nilai kesusilaan dan kesopanan yang dipegang teguh oleh masyarakat Pornografi melalui internet menguji kekuatan nilai dan norma yang selama ini menjadi landasan di dalam masyarakat sekaligus menjadi skala dan barometer, sejauh manakah pornografi mampu menggilas kekuatan nilai dan norma yang selama ini dipertahankan di dalam masyarakat.
Hidup dalam tatanan masyarakat yang aman, tenteram dan sejahtera merupakan dambaan setiap manusia, munculnya tindakan-tindakan asusila merupakan konsekuensi dari globalisasi yang berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Fitrah manusia sebagai makhluk yang paling sempurna adalah makhluk yang bermoral dan mampu berprilaku baik, karena telah dikaruniai akal sebagai bekal untuk berpikir dan bertidak dengan kaedah-kaedah yang menjadi acuan hidup berperilaku, baik yang merupakan aturan tingkah laku atau kebiasaan yang tak tertulis.
Pada dasarnya situs-situs pornografi seharusnya hanya untuk orang-orang yang telah menikah atau telah berkeluarga saja terutama bagi orang-orang yang mengalami keluhan dalam hubungan antara suami istri. Namun kebanyakan dari pengguna internet yang membuka situs porno atau situs konsultasi seksual justru dari kalangan anak-anak atau remaja. Video porno membuat penontonnya melakukan peniruan seperti apa yang disajikan, maka anak-anak atau remaja yang belum dapat menganalisa mana yang baik dan buruk melalui akal pikirannya, dan akan cenderung meniru dan mencoba apa yang baru dilihatnya. Akibatnya terjadilah penyimpangan seksual bahkan dapat terjadi hubungan seksual sebelum menikah dan kehamilan di luar nikah.
Pornografi melalui internet memiliki karakteristik berbeda dengan media pornografi lainnya, seperti lebih cepat, lebih lengkap, lebih aman dan lebih murah ini akan semakin menarik konsumen untuk menggunakannya. Pada awalnya mungkin hanya sekedar ingin tahu atau bahkan membukanya tanpa sengaja. Namun apabila kemudian ada keinginan untuk membuka kembali situs porno untuk kedua kali dan seterusnya, maka akan menjadi kebiasaan dan kebutuhan sehari-hari. Pada tahap ini berarti anda telah kecanduan pornografi.
Video porno yang tersedia di internet secara tidak langsung begitu besar menyumbang dalam merusak moral anak bangsa. Adegan-adegan yang ditampilkan di dalam video porno berupa adegan suami istri tidak layak untuk dilihat. Pada dasarnya melakukan adegan suami istri dilakukan oleh orang yang telah menikah dan dalam melakukannya pun di tempat tertutup tanpa satu orangpun dapat melihatnya. Karena itu termasuk dalam norma dan etika yang ada di masyarakat kita. Akan tetapi pada kenyataannya saat ini adegan-adegan tersebut dilakukan oleh orang yang tidak memiliki hubungan suami istri antara keduanya, dan dengan kehadiran teknologi canggih saat ini adegan tersebut sengaja di rekam dan disebarluaskan melalui internet.
Akibat pornografi juga menimbulkan kejahatan seperti yang sering ditayangkan ditelevisi-televisi maupun berita-berita melalui media cetak di Indonesia adalah banyaknya kasus perkosaan, perzinaan, aborsi, bahkan pembunuhan. Tidak hanya dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan dengan korban. Bahkan diantaranya pelaku yang masih mempunyai hubungan darah atau hubungan semenda, atau hubungan seprofesi, atau hubungan kerja, atau hubungan tetangga, atau hubungan pendidikan dengan korban, baik Guru di Sekolah-sekolah formal maupun Guru mengaji maupun Guru Agama. Yang dilakukan secara homoseksual maupun lesbian. Bahkan, para korban pornografi atau pornoaksi tidak hanya orang yang masih hidup, orang yang sudah meninggal pun dijadikan korban perkosaan sebagai pelampiasan hawa nafsu birahi. dan juga antara manusia dengan binatang atau hewan. (Djubaedah, 2003: 2)

Hukum berfungsi untuk melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan, termasuk pornografi. Karena hukum juga memegang peran yang sangat penting sebagai upaya penanggulangan pornografi melalui internet. Demikian fenomena pornografi ini harus segera ditertipkan karena sangat merusak moral anak bangsa terutama anak-anak, remaja dan masyarakat pada umumnya. Dalam pemberantasannya perlu harus melibatkan berbagai pihak yang berwenang, seperti pemerintah, parlemen, akademisi, aparat penegak hukum, pakar internet, pakar telematika, operator telekomunikasi dan penyedia jasa internet.
Berbagai faktor sebab akibat fenomena pornografi melalui internet, yang telah mengikis nilai-nilai dan norma-norma yang selama ini di pegang teguh oleh masyarakat. Dan dari sinilah yang dijadikan landasan oleh para para penegak hukum di Indonesia dalam melahirkan Undang-undang yang mengatur tentang pornografi yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur tentang akses berbagai informasi elektronik dalam hal internet, serta Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi. Dengan ini diharapkan dapat menjerat pelaku pelanggaran kesusilaan yaitu tentang pembuatan dan penyebaran video porno melalui internet.
Diharapkan dengan adanya Perundang-undang yang ada saat ini dapat meredam aktifitas negatif dari internet yaitu dalam pembutan dan peyebaran video porno melalui internet. Akan tetapi semua tergantung pada diri kita masing-masing. Ini tidak terlepas dari faktor pendidikan keluarga, serta pendidikan di sekolah sangat berpengaruh. Terlebih lagi faktor lingkungan dalam pergaulan sehari-hari, karena pergaulan sangat mempengaruhi moral seseorang.

Tinjauan Hukum Islam Mengenai Pembuatan dan Penyebaran Video Porno Melalui Internet
Fenomena pembuatan dan penyebaran video porno melalui internet merupakan contoh sebagian dari masalah yang mengakibatkan kemerosotan moral anak-anak bangsa, walaupun pada kenyataannya masih banyak lagi faktor-faktor lain yang menyebabkan kemerosotan moral anak bangsa seperti yang saat ini menjadi masalah yang ada kalangan remaja kita, seperti banyaknya kenakalan-kenakalan remaja diantaranya, narkoba, pergaulan bebas atau free sex, pelacuran, bahkan tawuran antar pelajar.
Pada umumnya faktor penyebab dasar pornografi melalui internet salah satunya yaitu kurangnya pendalaman di bidang ilmu agama. Para pelaku terutama penikmat dari aksi video porno melalui internet akan semakin menipis terhadap komitmen agamanya, karena melakukan pelanggaran yang jelas-jelas disengaja. Para penikmat video porno tersebut secara tidak langsung telah melakukan perbuatan yang telah mendekati perzinahan yang akan merusak moral dan akhlak. Dan bagi para pelaku pembuat dan menyebarkan video porno melalui internet jelas telah melakukan perbuatan zina, dan merekamnya dalam bentuk video yang pada akhirnya menyebarluaskan melalui internet. Diantara pelaku penyebaran dan para penikmat secara tidak langsung telah melakukan perbuatan tolong menolong dalam berbuat dosa. Ini sesuai dengan firman Allah SWT :

ﻭﺘﻌﺎ ﻭﻨﻮﺍﻋﺎﯽ ﺍﻠﺒﺮ ﻮﺍﻠﺘﻘﻮﯼ ۖ ﻮﻻ ﺘﻌﺎ ﻮﻨﻮ ﺍﻋﺎﯽ ﺍﻻ ﺜﻢ ﻭﺍﻠﻌﺪ ﻮﺍﻦ ﻮﺍﺘﻘﻭ ﺍﺍﻠﻟﻪ ﺍﻦ ﺍﻠﻟﻪ ﺸﺪ ﯿﺪ ﺍﻠﻌﻘﺎﺏ
(Q.S. Al-Maidah: 2)
Dari ayat diatas dapat di pahami bahwa Allah menyuruh kita untuk saling tolong menolong dalam kebaikan bukan malah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Jelas bahwa pembuatan dan penyebaran video porno melalui internet hingga dapat di nikmati oleh smua kalangan masyarakat baik para pelaku dengan model dalam video tersebut maupun para pelaku penyebaran dengan para penikmat adegan video-video porno telah melakukan perbuatan tolong-menolong akan tetapi dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Pada hakikatnya dalam melakukan suatu tindakan yang baik maupun tindakan yang buruk maka manusia harus menggunakan akalnya. Akan dan pikiran adalah anugerah dari Allah SWT yang besar yang diberikan melebihi dari makhluk-makhuk yang Allah SWT ciptakan. Apabila akal dan pikiran tersebut digunakan untuk hal yang salah seperti untuk menonton atau menikmati adegan video porno yang tersaji luas di internet, maka hal tersebut mengakibatkan timbulnya pemikiran bebas mengenai seks dalam masyarakat. Dan pada akhirnya banyak terjadi tindak pidana seperti pemerkosaan, serta makin maraknya pergaulan bebas atau free sex dikalangan remaja yang saat ini menjadi penyakit yang sangat parah di masyarakat.
Berpijak dari sinilah larangan pornografi khususnya pornografi melalui internet bukan hanya dalam Perundang-undangan, akan tetapi larangan pornografi juga di atur dalam hukum Islam. Baik hukum pidana Islam maupun hukum positif keduanya sama-sama mempunyai tujuan memelihara kepentingan dan ketentraman masyarakat serta menjamin kelangsungan hidupnya.
Dalam konteks hukum Islam larangan pornografi tidak hanya satu alasan. Banyak dalil yang dapat menunjukkan pornografi ini sangat di tentang dan diharamkan di dalam Islam. Adapun yang menjadi Batasan pornografi dalam Islam di sini adalah :
1. Larangan memperlihatkan dan melihat aurat
Dalam Islam istilah pornografi ditegaskan sebagai aurat. Karena aurat merupakan hal yang sangat penting. Aurat inilah yang menjadi landasan utama dilarangnya pornografi dalam bentuk apapun, baik bagi para pelaku dalam membuat, menyebarkan maupun orang yang melihatnya. Aurat yang kita miliki merupakan amanah Allah SWT bagi pemilik tubuh yang bersangkutan yang harus dipelihara dan dijaga dari segala perbuatan yang tercela. Karena objek dari pornografi melalui internet adalah tubuh. Karena aurat merupakan bagian tubuh yang harus di jaga dan ditutup.
Seperti yang telah dijelaskan pada bab II dalam skripsi ini, Aurat sendiri merupakan sesuatu yang dianggap aib di dalam Islam jika diperlihatkan. Sesuai dalam firman Allah SWT yang berbunyi :

قل للمٶمنين يغضوٱ من ٲبصرهم ويحفظوٱ فروجهمۚ ذلك أزكى لهمۗ إن ٱلله خبرۢ بما يصنعون ٠ ﻮﻘﻞ ﻠﻟﻤﺆﻤﻨﺖ ﻴﻐﻀﺿﻦ ﻤﻥ ﺃﺒﺼﺮﮬﻥ ﻮﻴﺤﻔﻈﻦ ﻓﺮ ﻮﺠﮭﻦ ﻮﻻ ﻴﺒﺪ ﻴﻦ ﺰﻴﻨﺘﮭﻦ ﺇﻻﻤﺎﻇﻬﺮ ﻤﻨﻬﺎ ۖ ﻮﻟﻴﻀﺮ ﺒﻦ ﺒﺨﻤﺮ ﻫﻦ ﻋﻠﻰ ﺠﻴﻮ ﺒﻬﻦ ۖ ﻮﻻﻴﺒﺪ ﻴﻦ ﺯ ﻴﻨﺘﻬﻦ ﺇﻻ ﻤﻠﺒﻌﻭ ﻠﺘﻬﻦﺃﻮﺀﺍﺒﺎ ﺀﺒﻌﻮ ﻠﺘﻬ ۖ ﻮﻻ ﻴﺒﺪ ﻴﻦﺰ ﻴﻨﺘﻬﻦ ﺇﻻ ﻠﺒﻌﻮ ﻠﺘﻬﻦ ﺃﻮﺀﺍﺒﺎ إﻫﻦ ﺃﻮﺀﺍﺒﺎ ﺀﺒﻌﻮ ﻠﺘﻬﻦ ﺃﻮﺃﺒﻨﺎ إﻫﻦ ﺃﻮﺃﺒﻨﺎ ﺀﺒﻌﻮ ﻟﺘﻬﻦ ﺃﻮ إﺨﻮ ﻨﻬﻦ ﺃﻮﺒﻨﻰ ﺃﺨﻮ ﺘﻬﻦ ﺃﻮﻨﺴﺎ إﻫﻦ ﺃﻮﻤﺎ ﻤﻠﻜﺖ ﺃﻴﻤﻧﻬﻦ ﺃﻮﺃﻠﺘﺒﻌﻴﻦ ﻏﻴﺮ ﺃﻮﻠﻰ ﺃﻹ ﺮ ﺒﺔ ﻤﻦ ﺃﻠﺮ ﺠﺎ ﻞ ﺃﻮ ﺃﻠﻄﻔﻝ ﺃﻠﻧ ﻴﻥ ﻠﻡ ﻴﻆﻬﺮ ﻮﺃﻋﻠﻰ ﻋﻮ ﺮﺖ ﺃﻠﻧﺴﺎﺀ ۖﻮﻻ ﻴﺿﺮ ﺒﻦ ﺒﺂﺮ ﺠﻟﻬﻦ ﻟﻴﻌﻟﻢ ﻤﺎﻴﺨﻔﻴﻦ ﻤﻦ ﺯ ﻴﻨﺘﻬﻦۚ ﻭﺘﻭﺑﻭ ﺃﺇﻠﻰ ﺃﻠﻟﻪ ﺠﻤﻴﻌﺎ ﺃﻴﻪ ﺃﻠﻤﺆ ﻤﻨﻮ ﻦ ﻠﻌﻠﻜﻡ ﺘﻔﻠﺤﻭﻦ ٠
(Q.S. An-Nur: 31-32)
Dari kedua ayat di atas, maka dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam diwajibkan untuk menjaga pandangan dan kemaluannya dalam pergaulan, yaitu dengan cara menutup aurat sesuai dengan batasan masing-masing. Adapun batas aurat laki-laki yaitu dari pusat sampai lutut, dan perempuan yaitu seluruh badannya kecuali telapak tangan mukanya.
Ayat ini berlaku secara umum untuk menjaga pandangan dari apa saja yang akan membuat laki-laki maupun perempuan terjerumus berbuat dosa. Oleh karenanya ayat ini berlaku umum, maka sama saja apakah yang di lihat atau diperlihatkan itu berupa objek aurat langsung ataupun tidak langsung seperti di dalam media dalam bentuk video porno yang tersedia di internet.
Menurut ajaran Islam, tubuh merupakan amanah Allah SWT yang wajib di pelihara oleh setiap insan dalam rangka memelihara kehormatan. Islam secara tegas menuntun, membimbing, mengarahkan, dan menentukan manusia dalam memperlakukan dan memanfaatkan tubuh agar terjaga kehormatannya, derajat, dan martabat diri, baik dalam keluarga, masyarakat, dan bangsa, untuk mencapai kebahagiaan hidup dan kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. (Djubaedah, 2003: 5)

2. Keharaman mendekati zina
Selain karena kewajiban menutup aurat dan menjaga pandangan untuk tidak memperlihatkan maupun melihat aurat orang lain, kecuali antara suami dan istri. Batasan pornografi juga mengenai keharaman mendekati zina.
Zina adalah memasukkan kemaluan laki-laki sampai kedalam kemaluan perempuan tanpa adanya ikatan pernikahan diantara keduanya. (Rasjid, 1994: 436)
Kata zina ini berlaku terhadap seorang atau keduanya yang telah menikah ataupun belum. Islam menganggap zina bukan hanya sebagai perbuatan dosa besar melainkan juga sebagai perbuatan memalukan lainnya yang akan yang akan menghancurkan landasan keluarga yang sangat mendasar, yantg akan mengakibatkan terjadinya banyak perselisihan dan pembunuhan, menghancurkan nama baik dan harta benda, serta meyebarluaskan berbagai macam penyakit baik jasmani maupun rohani.(Doi, 1996: 36)

Keharaman pornografi (membuat dan menyebarkan video porno melalui internet) juga berdasarkan larangan untuk mendekati zina. Sesuai dalam firman Allah SWT :
ﻮﻻ ﺗﻘﺭ ﺒﻮﺍﺍﻠﺯﻨﺎ ۖ ﺇﻨﻪ ﻜﺎﻦ ﻔﺤﺸﺔ ﻮﺴﺎﺀ ﺴﺒﻴﻼ۰
(Q.S. Al-Israa’: 32)
Dalam ayat ini yang dilarang dan diharamkan oleh Allah SWT bukan hanya berzinanya, melainkan juga mendekatinya. Banyak cara orang untuk dekat pada perzinaan. Pintu apapun yang dapat membuat orang dekat dengan zina yang diharamkan secara tegas berdasarkan ayat ini, seperti berpacaran dan berdua-duaan dengan lawan jenis karena yang ketiganya adalah setan.
Terhadap hal yang di atas maka menyaksikan video porno melalui internet termasuk dalam perbuatan yang mendekati zina dan pada akhirnya melakukan perzinahan, Karena dalam hal menikmati situs-situs porno dalam bentuk video porno melalui internet, daya rangsangannya terhadap seksual seseorang tersebar adalah melalui mata kemudian keindra yang lain yang pada akhirnya dapat melakukan perbuatan zina. Sedangkan para pelaku pembuatan dan penyebaran video porno melalui internet jelas telah melakukan perbuatan pengumbaran aurat dan perbuatan perzinahan.
Dari ketentuan di atas pornografi akan membuka jalan menuju perzinaan. Orang yang melihat gambar-gambar atau video porno pada umumnya akan terpengaruh pikirannya untuk melakukan perzinaan. Oleh sebab itu, gambar dan film porno ini merupakan salah satu jalan menuju kearah perzinaan yang haram untuk didekati.
Haram membuat dan melakukan yang menjadi jalan pada perbuatan haram
Dalam kaidah-kaidah fiqh yang memperkuat larangan terhadap pembuatan dan penyebaran video porno melalui internet yang mengumbar aurat, sesuai dengan Fatwa MUI No. 287 Tahun 2001 tentang Pornografi dan Pornoaksi yaitu sebagai berikut :
Semua yang menyebabkan terjadinya perbuatan haram adalah haram.
Menghindari mafsadat lebih didahulukan atas mendatangkan maslahat.
Melihat pada (sesuatu) yang haram adalah haram.
Segala sesuatu yang lahir (timbul) dari sesuatu yang haram adalah haram.
Kaidah tersebut semakin memperkuat ketentuan hukum mengenai diharamkannya pornografi di dalam Islam. Berdasarkan kaidah ini, yang diharamkan bukan hanya melihatnya, tetapi juga membuatnya. Bahkan orang-orang yang membuat gambar maupun video porno ini melakukan perbuatan yaitu membuat, menyebarluaskan. Kedua-duanya akan membuka jalan terjadinya perbuatan yang diharamkan, yaitu mendekatkan bahkan telah melakukan suatu perbuatan perzinahan. Oleh sebab itu, membuat maupun melihat video porno apalagi aslinya, bukan dalam bentuk video porno adalah haram.
Dari sinilah hukum Islam mengenai pornografi ini akan bermula. Persoalan yang akan dijadikan patokan bukan soal porno atau tidaknya dalam pandangan masyarakat, melainkan apakah ketentuan mengenai menutup aurat ini sudah di penuhi atau belum. Ini merupakan kriteria dasar untuk mengembangkan ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai pornografi seperti yang dijelaskan di atas. Dengan menggunakan batasan dasar perihal pornografi dari permasalahan aurat ini, akan dengan mudah ditentukan hukum yang lebih besarnya dalam masalah pembuatan dan penyebaran video porno melalui internet.
Berdasarkan dari uraian di atas maka dapat di ketahui bahwa pembuatan dan penyebaran video porno melalui internet seperti adegan-adegan yang mengumbar aurat yang terdapat di internet pada hakikatnya termasuk dalam tindak pidana jinayah dan bagian dalam sistem tindak pidana zina (jarimah zina).
Dari batasan batasan yang telah ditentukan Islam itulah yang menjadi landasan mengenai larangan pembuatan dan penyebaran video porno melalui internet. Pornografi melalui internet merupakan sarana pengantar pada kegiatan-kegiatan seksual yang diharamkan dalam Islam karena pada umumnya orang yang menonton adegan-adegan dalam video porno tersebut tidak mampu untuk menahan keinginan seks saat terangsang dengan gambar-gambar porno, dan aksi-aksi porno lainnya yang banyak tersaji luas di dunia maya.
Pembuatan dan penyebaran video porno melalui internet yang berdampak serius ditengah-tengah masyarakat adalah merupakan tindakan yang diharamkan oleh Islam. Orang atau institusi yang membuat dan menyebarluaskan video porno melalui internet, menurut Syari’at di anggap telah melakukan aktifitas yang haram. Secara Syar’i pelaku dikenakan hukuman ta’zir.
Ta’zir menurut bahasa masdar (kata dasar) ‘azzara yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu. Ta’zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan ta’zir karena hukuman tersebut sebenarnya agar si terhukum jera. (Djazuli, 1997: 160)
Yang di maksud dengan hukuman ta’zir adalah hukuman mengenakan hukuman selain hudud dan kifarat kepada pelaku perbuatan tindak pidana baik perbuatan itu menyangkut hal Allah SWT, maupun hak pribadi seseorang. Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan bentuk, jenis dan jumlah oleh syara’. Untuk menentukan hukuman mana yang harus dilaksanakan terhadap suatu tindak pidana ta’zir, syara’ menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim, setelah mempertimbangkan kemaslahatan terpidana, lingkungan yang mengintarinya dan tujuan yang hendak di capai dalam pelaksanaan hukuman tersebut. (Yusuf, 2009: 30)

Ta’zir sering juga disamakan oleh fuqaha dengan hukuman terhadap setiap maksiat yang tidak diancam dengan hukuman had atau kaffarat (Djazuli: 97: 161). Maksiat itu sendiri yaitu melakukan perbuatan yang diharamkan (dilarang) dalam syari’at Islam.
Sesuai dengan pengertian yang dikemukakan oleh Ulama fiqh, jarimah ta’zir bersifat tidak terbatas baik dari segi bentuk maupun dari segi hukumnya. Bahkan mereka menyatakan bahwa tidak mungkin menetapkan dan membatasi bentuk jarimah ta’zir dan hukumnya (Yusuf, 2009: 31)
Aksi-aksi porno dalam bentuk video porno melalui internet adalah bagian dari perbuatan maksiat. Karena aktifitas video porno melalui internet dengan cara mengumbar aurat. Pelaku yang membuat aktifitas-aktifitas jelas melakukan perbuatan maksiat yaitu melakukan perbuatan zina dan merekamnya kedalam media berbentuk video porno dan disebarluaskan melalui internet. Dan bagi yang mengunduh atau menonton adegan tersebut secara tidak langsung adalah juga pelaku zina karena ia melakukan zina mata, telinga, dan pikiran karena menghayalkannya. Disamping itu hukuman ta’zir terhadap pornografi melalui internet, dapat dijatuhkan apabila hal itu di kehendaki oleh kemaslahatan umum.
Macam-macam Sanksi ta’zir menurut Djazuli (1997: 188) yaitu:
Sanksi ta’zir mengenai badan. Hukuman yang terpenting dalam hal ini adalah hukuman mati dan hukuman jilid.
Sanksi berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, yang terpenting dalam hukuman ini adalah hukuman berbagai penjara dan pengasingan.
Sanksi berkaitan dengan harta, yaitu seperti denda, penyitaan, perampasan dan penghancuran barang.
Sanksi lain ditentukan oleh ulil amri demi kemaslahatan umum.
Terhadap macam-macam hukuman ta’zir di atas maka pornografi melalui internet dapat dikenakan keempat macam hukuman tersebut. Hukuman mati atau dera dan juga hukuman penjara dapat terjadi apabila pelaku pornografi melakukan tindak kejahatan lain disamping aksi-aksi porno lain seperti dalam pembuatan video porno dan menyebarluaskan video porno tersebut melalui internet maka hukuman tersebut dapat dilakukan.
Terhadap hukuman pengasingan atau disebut juga dengan hukuman penjara, hukuman ini sering terjadi di Indonesia daalam penyelesaian perkara. Dalam hal ini pembuatan dan penyebaran video porno melalui internet, hukuman penjara sering dijadikan hukuman untuk menghukum pelaku. Seperti pada kasus belum lama ini terjadi yaitu beredarnya video porno di internet yang dilakukan oleh artis Indonesia Ariel-Luna Maya dan Ariel-Cut Tari. Dan terhadap kasus ini pihak berwajib menahan Ariel selaku pelaku utama dalam video tersebut dan menjatuhi hukuman penjara.
Akan tetapi dalam penerapannya, lama kurun waktu hukuman yang ditentukan dalam Islam berbeda dengan hukum yang ada di Indonesia. Adapun perbedaan sanksi dalam Islam sanksi ta’zir tidak ditentukan kurun waktunya, sedangkan dalam hukum di Indonesia sudah ditentukan kurun waktunya.
Begitu juga dengan hukuman yang berkaitan dengan denda, penyitaan dan penghancuran barang juga diterapkan di Indonesia sebagai hukuman terhadap pelaku pembuatan dan peyebaran video porno. Karena para pelaku dalam pembuatanya akan melibatkan media-media yang diperlukan seperti handphone, atau media-media lain, serta meyebarluaskan melalui komputer dan disebarluaskan melalui internet. Dokumen-dokumen inilah yang dimaksud dengan objek benda yang harus disita untuk penyelidikan dan dihancurkan setelah selesai perkara tersebut.
Serta hukuman lain yang ditentukan oleh Ulil Amri terhadap pelaku pembuatan dan peyebaran video porno melalui internet demi kemaslahatan umat. Agar kelak pelaku pembuatan dan peyebaran video porno melalui internet menjadi jera agar tidak melakukannya lagi karena sesuai dengan tujuan hukuman ta’zir yaitu membuat jera para pelaku.

Solusi Islam menanggulangi kejahatan pornografi melalui internet
Islam menghargai kebebasan untuk berekspresi, namun sesuai dalam koridor atau tuntunan syariat. Islam juga mengakui bahwa setiap manusia memiliki naluri seksual, namun dalam mengarahkanya supaya disalurkan dalam cara-cara sesuai syari’at. Islam sebagai pedoman hidup memiliki cara yang khas, untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi manusia tanpa menelantarkan kebutuhannya yang lain, dan juga tanpa mengabaikan kebutuhan manusia lainnya dalam masyarakat.
Misi ajaran Islam sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam. Untuk menunjukkan bahwa Islam sebagai pembawa rahmat dapat di lihat dari pengertian itu sendiri. Kata Islam makna aslinya masuk dalam perdamaian, dan orang muslim ialah orang yang damai dengan Allah dan damai dengan manusia. Damai dengan Allah, artinya berserah diri sepenuhnya kepada kehendak-Nya, dan damai dengan manusia bukan saja berarti menyingkiri berbuat jahat dan sewenang-wenang kepada sesama, melainkan berbuat baik kepada sesama. Dari sejak kelahirannya lima belas abad yang lalu Islam senantiasa hadir memberikan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi oleh umat seperti problematika agama, sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, kebudayaan, dan sebagainya.(Nata, 1998: 97)

Telah jelas bahwa Islam hadir membawa solusi dalam permasalahan-permasalahan yang dihadapi umat. Oleh karena itu, Islam tidak sekedar menetapkan agar tak ada seorangpun dalam wilayah Islam yang mengumbar aurat, namun Islam juga memberikan solusi agar ekonomi berjalan dengan benar, sehingga tidak perlu ada orang yang harus mencari nafkah dalam bisnis pornografi. Islam juga memberikan tuntunan hidup dan aturan bermasyarakat yang akan menjaga agar setiap orang memahami tujuan hidup yang benar serta tujuan hidup yaitu kebahagiaan yang hakiki, sehingga permintaan pada bisnis pornografi pun akan merosot tajam. Bagaimanapun, setiap bisnis hanya akan berputar kalau ada penawaran dan permintaan.
Dalam memberantas pembuatan dan penyebaran pornografi melalui internet tidak bisa sepotong-sepotong, akan tetapi harus di berantas sampai keakar-akarnya. Pemerintah harus mendidik rakyatnya untuk berpola sikap dan perilaku Islami. Media massa yang mengarah kepada pornografi agar segera di tutup dari peredaran-peredaran yang ada. Demikian juga keberadaan berbagai tempat-tempat hiburan yang selama ini menjadi ajang pertemuan pelaku kemaksiatan agar secepatnya ditertipkan dan dibersihkan, tanpa harus merusaknya.
Sesuai rekomendasi Fatwa Mui tentang pornografi dan pornoaksi yaitu mendesak kepada semua pihak terutama produser, penerbit, dan pimpinan media, baik cetak maupun elektronik, agar segera menghentikan bentuk aktifitas yang diharamkan. Serta mendesak kepada seluruh lapisan masyarakat agar turut serta secara aktif dan arif menghentikan segala bentuk perbuatan yang diharamkan. Dan juga mendesak kepada para penegak hukum agar menindak tegas semua pelaku perbuatan haram. Karena sesuai tujuan Islam yaitu untuk kemaslahatan umat itu sendiri.

bab 2 by_heri

BAB II
TINJAUAN TEORITIS TERHADAP PEMBUATAN DAN PENYEBARAN VIDEO PORNO MELALUI INTERNET

A. Pelanggaran Kesusilaan
Lahirnya pornografi melalui internet sedikit demi sedikit telah menggerus budaya yang ada di dalam masyarakat yang memegang teguh budaya timur, dan memegang teguh norma-norma kesusilaan dalam masyarakat itu sendiri. Pornografi jelas melanggar norma-norma kesusilaan yang ada di masyarakat. Karena adegan adegan yang ada dalam video porno tersebut tidak senonoh atau tidak layak untuk dipertontonkan.
Norma kesusilaan adalah peraturan hidup yang dianggap sebagai suara hati sanubari manusia (insan kamil). Peraturan-peraturan ini berupa bisikan kalbu atau suara batin yang di akui dan di insyafi oleh setiap orang sebagai pedoman dalam sikap dan perbuatan. (Kansil, 1989: 85)
Menurut pendapat ahli hukum pada umumnya menyatakan bahwa kesusilaan adalah suatu pengertian adat-istiadat mengenai tingkah laku sopan santun dalam pergaulan hidup yang baik, terutama dalam hal yang berhubungan dengan masalah seksual. (Chazawi, 2005:i5)
Pelanggaran kesusilaan ini dirumuskan dalam KUHP Pasal 281, yang rumusannya bahwa :
“Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
barang siapa dengan sengaja secara terbuka melanggar kesusilaan;
barang siapa dengan sengaja dihadapan oran lain yang ada di situ bertentangnya dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.” (Solahuddin, 2007: 94)

Menurut Chazawi (2005: 12-22) ada tiga unsur yang membentuk pelanggaran kesusilaan dalam KUHP pasal 281 yaitu:
Unsur kesengajaan (opzettelijk)
Unsur kesalahan yakni kesengajaan ditempatkan pada permulaan rumusan, yang mendahului unsur perbuatan melanggar kesusilaan dan tempatnya di muka umum. Kesengajaan itu sendiri merupakan sikap batin yang menghendaki sesuatu dan mengetahui sesuatu. Artinya perbuatan itu memang dikehendakinya dan disadarinya atau diketahuinya tentang nilai perbuatannya itu sebagai menyerang rasa kesusilaan umum secara terbuka di muka umum.
Perbuatan melanggar kesusilaan
Melanggar kesusilaan artinya melakukan suatu perbuatan yang dilarang, yang menyerang rasa kesusilaan masyarakat. Seperti kecabulan dan eksploitasi seksual yang dilakukan di muka umum. Unsur dimuka umum inilah yang menjadi penyebab semua perbuatan tersebut semua perbuatan melanggar kesusilaan, yang artinya melekat sifat tercela atau melawan hukum pada perbuatan melanggar kesusilaan.
Unsur secara terbuka atau di muka umum
Di muka umum artinya di depan orang banyak. Sifat terbukanya dari perbuatan melanggar kesusilaan bukan sekedar pada banyaknya orang, tetapi pada keleluasaan atau kebebasan atau secara bebas bagi orang banyak di tempat umum tersebut, tanpa ada halangan dan ditutup-tutupi oleh si pembuat untuk melihat dan untuk mengetahui perbuatan melanggar kesusilaan yang dilakukan.

B. Pornografi dan Unsur-usur Pornografi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pornografi adalah sesuatu yang di buat untuk membangkitkan nafsu seks (birahi) (Chaniago, 2000: 465). Menurut Chazawi (2005: 22). Secara etimologi pornografi berasal dari dua suku kata yakni pornos dan grafi. Pornos artinya suatu perbuatan yang asusila (dalam hal yang berhubungan dengan seksual), atau grafi adalah gambar atau tulisan yang dalam arti luas termasuk benda-benda patung.
Sedangkan menurut Bungin (2003: 154) pornografi adalah gambar-gambar porno yang dapat di peroleh dalam bentuk foto atau gambar video. Pengertian pornografi itu sendiri menurut Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi bahwa: “pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan atau pertunjukan dimuka umum, yang membuat kecabulan dan eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”
Dalam Islam definisi mengenai pornografi Seperti yang difatwakan Majelis Ulama Indonesia Nomor 278 Tahun 2001 tentang Pornografi dan Pornoaksi Tanggal 22 Agustus 2001, berdasarkan surah Al-Isra ayat 32 kita dilarang mendekati zina, An-Nur ayat 30-31 mengatur tentang cara bergaul, memelihara kehormatan, dan batas aurat, Al-Ahzab ayat 59 mengatur tentang aurat kaum perempuan mu’minnah, dan Al-Maidah ayat 2 tentang kewajiban saling tolong-menolong dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan larangan melakukan perbuatan dosa dan pelanggaran, maka batasan pornografi maupun pornoaksi menurut hukum Islam telah jelas. Demikian pula dalam beberapa Hadist Rasulullah yang melarang kita memakai pakaian yang tembus pandang, erotis, sensual, dan sejenisnya, serta larangan bagi laki-laki berkhalwat (berdua-duaan di tempat sunyi tanpa orang ketiga) dengan perempuan yang bukan muhram-nya, ataupun antara laki-laki dengan laki-laki (homoseksual), maupun antara perempuan dan perempuan (lesbian) (Djubaedah, 2003: 130).

Unsur pornografi pertama terdapat dalam Pasal 282 KUHP yang menyatakan :
Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, atau pun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah. (ayat 1)
Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan atau barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum membikin, memasukkan ke dalam negeri meneruskan, mengeluarkan dari negeri atau memiliki persediaan ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau sengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan menunjukkannya sebagai bias diperoleh, diancam, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambar atau benda itu melanggar kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah (ayat 2).
Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama sebagai pencarian atau kebiasaan dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak tujuh puluh lima ribu rupiah (ayat 3). (Solahuddin, 2007: 95)

Dari Pasal tersebut dapat dikatakan bahwa unsur-unsur pornografi adalah hal-hal yang berhubungan dengan media, baik televisi, gambar atau benda yang digunakan untuk :
Menyiarkan
Mempertunjukkan kepada umum
Membuat
Menawarkan tidak ada permintaan orang lain
Mempertunjukkan untuk dapat diperoleh
Menyimpan
Melanggar kesusilaan
Unsur pornografi yang kedua terdapat dalam Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 27 ayat 1: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Unsur-unsur pornografi di sini yang terdapat dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah :
Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
Dapat diakses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
Memiliki muatan yang melanggar kesusilaan
Unsur pornografi yang ketiga terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 dan 2 Undang-Undang RI No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi yaitu :
Pornografi adalah: gambar, sketsa, ilustrasi foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan atau pertunjukan dimuka umum, yang membuat kecabulan dan eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetak lainnya. (Guza, 2008: 2)

Unsur-unsur pornografi di sini yang terdapat dalam Undang-Undang Pornografi adalah :
Bentuk pornografi : gambar, sketsa, ilustrasi foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya.
Terdapat dalam internet
Dipertunjukkan di muka umum
Memuat kecabulan/eksploitasi seksual
Melanggar norma kesusilaan
Disediakan orang perorangan atau korporasi
Menyimak unsur-unsur hukum di atas, maka unsur-unsur pornografi dalam hukum Islam merujuk pada Fatwa MUI No. 287 Tahun 2001 tentang pornografi dan pornoaksi yaitu :
Menggambarkan secara langsung atau tidak langsung tingkah laku secara erotis baik dengan lukisan maupun, gambar tulisan, reklame, iklan, maupun ucapan baik melalui media cetak maupun elektronik yang dapat mengakibatkan nafsu birahi adalah haram.
Membiarkan aurat terbuka atau berpakaian ketat atau tembus pandang dengan maksud untuk diambil gambarnya, baik untuk dicetak maupun divisualisasikan adalah haram.
Melakukan pengambilan gambar sebagaimana pada angka 2 adalah haram.
Melakukan pengambilan gambar hubungan seksual baik terhadap diri ataupun orang lain dan terlihat hubungan seksual atau adegan seksual adalah haram.
Memperbanyak, mengedarkan menjual ataupun membeli dan melihat atau memperhatikan gambar orang baik cetak maupun visual yang terbuka auratnya atau ketat atau tembus pandang yang dapat membangkitkan nafsu birahi atau gambar adegan seksual adalah haram.
Memperoleh uang manfaat atau fasilitas dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan di atas adalah haram.(Djubaedah, 2003: 15)

Berdasarkan unsur-unsur pornografi yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur pornografi dalam bentuk video porno melalui internet adalah :
Perbuatan, yaitu membuat dan meyebarluaskan
Di muka umum atau di masyarakat umum
Mengumbar aurat yang isinya melanggar kesusilaan dalam masyarakat. Media penyebarannya berupa alat-alat media elektronik terutama internet
Bertujuan untuk menghasilkan uang.

C. Video Porno
Video adalah teknologi pemrosesan sinyal elektronik mewakilkan gambar bergerak. Aplikasi umum dari teknologi video adalah televisi, tetapi dapat juga digunakan dalam aplikasi teknik, saintifik, produksi dan keamanan. (Asyrofah: 2009)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, porno berarti kecabulan (Chaniago, 2000: 465). Jadi yang dimaksud dengan video porno adalah teknologi pemrosesan sinyal elektronik mewakilkan gambar bergerak yang berisi muatan sesuatu yang erotis atau kecabulan.

D. Mengenal Media Internet
Industri pornografi terus berkembang seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya, media pornografi baru akan selalu muncul bersamaan dengan terciptanya teknologi baru. Industri pornografi selalu memanfaatkan setiap perkembangan media, karena media merupakan sarana komunikasi di masyarakat. Dan internet telah menjadi teknologi sehari-hari dan bukan sesuatu yang luar biasa atau aneh lagi di masyarakat Indonesia.
Keberadaan internet semakin pesat dan sangat mudah diakses oleh masyarakat. Begitu mudahnya kita menemukan internet. Baik di kota-kota besar maupun di daerah banyak tersebar warung internet (warnet). Di setiap rumah-rumah, di sekolah, dan di tempat-tempat umum dapat dengan mudah menggunakan teknologi ini. Disetiap Universitas maupun tempat-tempat publik banyak dilengkapi dengan fasilitas jaringan internet (wi-fi) sehingga dapat mengakses internet dengan mudah dan gratis. Tidak dapat dipungkiri kecanggihan teknologi internet saat tidak lagi hanya terbatas melalui komputer saja, akan tetapi internet dapat dinikmati dengan kecanggihan telepon seluler atau handphone yang dilengkapi dengan akses internet, dan dengan mudah dapat mengakses informasi melalui internet.
Kemudahan lain dalam penggunaan internet yaitu cukup dengan mengetik serangkaian kata yang kita inginkan melalui mesin pencari atau Google maka akan dapat kita temukan berbagi informasi yang kita cari. Bahkan terkadang, kesalahan dalam menulis atau mengetik, dapat memunculkan data, gambar, atau informasi yang tidak diduga.
Pada intinya internet merupakan jaringan komputer yang terhubung satu sama lain melalui media komunikasi, seperti kabel telepon, serat optik, satelit ataupun gelombang frekuensi. Jaringan komputer ini dapat berukuran kecil seperti Local Areal Network (LAN) yang biasa dipakai yang biasa dipakai secara intern di kantor-kantor, bank, atau perusahaan atau bisa disebut intranet, dapat juga berukuran superbesar seperti internet. Hal yang membedakan antara jaringan kecil dan jaringan superbesar adalah terletak pada ada atau tidaknya transmission control protocol/internet protocol (TCP/IP). (Raharjo, 2002: 59)

Kemudahan dalam penggunaan dan kecanggihan dari pada teknologi internet inilah yang sering kali disalahgunakan oleh para oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab dalam penyebaran-penyebaran video porno melalui internet untuk merusak moral anak bangsa.
Sisi negatif dari adanya penyalahgunaan teknologi informasi ini disebut juga dengan istilah cyberporn. Hal ini disebabkan seks merupakan suatu komoditi yang dapat membawa profit cukup besar dalam bisnis, terlebih melalui jasa e-commerce. Keberadaan cyberporn di Indonesia lengkap dengan teknologi informasi dan telematika yang menyertainya merupakan suatu realitas teknologi yang masuk ke Indonesia melalui kecanggihan cyberspace. Cyberporn atau pornografi di dunia maya telah menjadi bagian satu paket dengan masuknya teknologi informasi dan telematika internet ke Indonesia yang ternyata membawa pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat, sehingga dirasakan dampak negatifnya. (Masyithoh, 2010)

Kejahatan pornografi melalui internet ini adalah merupakan suatu konsekuensi yang harus di ambil oleh masyarakat dari adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini. Karena tidak dapat dipungkiri lagi bahwa dan kita tidak dapat membatasi diri dari pergaulan dunia dan menutup diri akan kebutuhan teknologi di zaman globalisasi ini.
Pembuatan dan penyebaran video porno melalui internet merupakan sebagian contoh yang ditawarkan dari kecanggihan teknologi internet. Masih banyak lagi pornografi melalui internet seperti foto-foto telanjang, cerita-cerita porno, dan masih banyak lagi situs-situs porno yang ada di dunia maya. Yang tidak kalah pentingnya yaitu kecanggihan teknologi handphone yang telah di lengkapi dengan fasilitas kamera sehingga mampu dan mendukung dalam pembuatan video porno yang dilakukan oleh para pelaku.
Adapun mengenai pengertian perbuatan membuat atau memproduksi adalah perbuatan dengan cara apapun yang ditunjukkan untuk menghasilkan suatu barang, atau menghasilkan barang yang belum ada menjadi ada (Chazawi, 2009: 146). Tanpa terbukti adanya benda pornografi yang dihasilkan maka pelaku tidak dapat di jerat dan tidak termasuk dalam tindak pidana. Hal ini hanya merupakan suatu tindak pidana percobaan. Apabila dapat memenuhi syarat-syarat untuk dapat dipidana maka pembuktiannya termasuk tindak pidana percobaan kejahatan.
Sedangkan dari sudut harfiah, kata menyebarluaskan berasal dari kata dasar sebar artinya berserakan, berpencar. Jadi menyebarluaskan adalah perbuatan yang bentuk dan dengan cara apaun terhadap suatu benda yang semula keberadaan tidak tersebar menjadi tersebar secara luas (Chazawi, 2009: 149). Yang dikatakan tersebar yaitu benda tersebut terdapat di banyak tempat atau di mana-mana dan terdapat pula pada banyak orang (umum). Menurut Undang-Undang Pornografi dalam pasal 13 ayat (1) pada bab penjelasan yang dimaksud dengan penyebarluasan termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh (download), mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau meyediakan.
Apabila di lihat dari sudut cara perumusannya, tindak pidana ini adalah tindak pidana formil. Apabila di lihat dari syarat penyelesaian tindak pidana, diperlukan akibat tersebarnya objek pornografi sehingga tindak pidana ini merupakan tindak pidana materil. Apabila di lihat dari kedua-duanya, maka tindak pidana menyebarluaskan pornografi adalah tindak pidana formil-materil atau semi formil atau semi materil. (Chazawi, 2009: 150)

E. Konsepsi Hukum Islam Mengenai pelanggaran Kesusilaan
Islam menentukan dengan sangat sederhana bahwa pelanggaran kesusilaan merupakan pelanggaran yang sangat peka, sehingga kalau memang terbukti dan diajukan di muka Hakim, hukumnya tegas dan jelas karena menyangkut harkat dan harga diri serta kehormatan manusia (Suma, 2001: 204). Sesuai dalam firman Allah SWT dalam surah Al-Israa’ ayat: 32.
ﻮﻻ ﺗﻘﺭ ﺒﻮﺍﺍﻠﺯﻨﺎ ۖ ﺇﻨﻪ ﻜﺎﻦ ﻔﺤﺸﺔ ﻮﺴﺎﺀ ﺴﺒﻴﻼ۰
(Q.S. Al-Israa’: 32)
Demikian peringatan tentang perzinahan (pelanggaran kesusilaan) tidak disebutkan jangan berzina, mendekati saja pun sudah termasuk larangan. Sebaliknya dalam kenyataan sekarang dalam kehidupan sehari-hari pintu-pintu perzinahan terbuka seluas-luasnya. Melalui layar kaca, melalui bacaan maupun situs-situs porno yang tersedia luas di dunia maya yang seakan menjadi budaya yang tidak diharamkan.
Dalam menghadapi apa yang di sebut dengan keterbukaan, globalisasi, modernisasi, bahaya-bahaya tidak mungkin dihindari lagi, kecuali dengan benteng iman. Hanya dengan iman, setan-setan yang berusaha dengan berbagai cara memperdayakan manusia akan mengalami kegagalan. Karena telah kita ketahui bersama bahwa setan berada dalam diri manusia, seperti darah yang mengalir dalam urat nadinya. Dan telah dijanjikan oleh Allah untuk memberi kebebasan kepada sisetan untuk menggoda hamba-Nya sampai akhir zaman.

F. Konsepsi Hukum Islam Mengenai Batasan Aurat
Dalam hukum Islam yang menjadi batasan atau patokan mengenai pembuatan dan penyebaran video porno melalui internet adalah mengenai aurat, baik aurat laki-laki dan perempuan. Hal ini berdasarkan hadist Nabi Muhammad SAW :
ﻓﺣﺬ ﻙ٬ ﻭﻻ ﺗﻨﻈﺮﺍﻟﯽ ﻓﺣﺬ ﺣﯤ ﻭﻻﻡ ﯿﺖ٠
(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah; Nailul Authar I, 1993: 363)
Menurut Fatwa MUI No. 287 Tahun 2001 tentang pornografi dan pornoaksi yaitu memperlihatkan aurat yakni bagian tubuh antara pusar dan lutut bagi laki-laki serta seluruh bagian tubuh wanita kecuali muka, telapak tangan, dan telapak kaki adalah haram, kecuali dalam hal yang dibenarkan oleh syar’i (Djubaedah, 2003: 15).
Aurat inilah yang menjadi landasan dalam Islam mengenai larangan pembuatan dan penyebaran video porno melalui internet, baik para pelaku pembuatan dan penyebaran melalui internet maupun orang yang menonton. Karena memperlihatkan dan melihat aurat adalah haram, ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah An-Nur ayat 30-31 yaitu mengenai cara bergaul, serta menundukkan pandangan dan menjaga kemaluannya. Kemaluan disini disebut juga dengan aurat karena kemaluan merupakan suatu aib yang tidak boleh untuk diperlihatkan.

Jumat, 15 April 2011

PERKEMBANGAN ILMU HUKUM DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU


BAB I
PENDAHULUAN
Manusia dalam masyarakat memerlukan perlindungan kepentingan, yang tercapai dengan terciptanya pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana seharusnnya manusia itu betingkah laku dalam masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Pedoman tersebut merupakan patokan atau ukuran berperilaku atau bersikap dalam kehidupan bersama yang kemudian disebut kaidah sosial, yang pada hakekatnya merupakan rumusan pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnnya dilakukan atau tidak, yang dianjurkan maupun yang dilarang untuk dijalankan. Dengan kaidah sosial hendak dicegah gangguan-gangguan maupun konflik kepentingan manusia, sehingga diharap manusia dapat terlindungi kepentingan- kepentingannya. Kaidah keagamaan ditujukan kepada kehidupan beriman manusia terhadap kewajibannya terhadap tuhan dan dirinya sendiri. Sumbernya adalah ajaran-ajaran agama yang oleh pengikutnya dianggap sebagai perintah tuhan sehingga sanksinya pun berasal dari tuhan.
Kaidah kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai individu yang bersangkutan dengan kehidupan pribadinya, terutama mengenai nurani individu manusia tersebut dan bukan sebagai mahluk sosial atau sebagai anggota masyarakat. Fungsinya untuk melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi dan mencegah kegelisahan diri sendiri dengan tujuan agar terbentuk kebaikan ahlak pribadi manusia serta menyempurnakannya agar tidak berbuat jahat. Kaidah kesopanan didasarkan pada kebiasaan kepatutan atau kepantasan yang berlaku dalam masyarakat. Ditujukan terhadap sikap lahir pelakunya yang konkrit demi penyempurnaan/ketertiban masyarakat dan bertujuan menciptakan perdamaian, tata tertib atau membuat sedap lalu lintas antar manusia yang bersifat lahiriah dengan mementingkan yang lahir atau yang formal. Sanksinya bersifat tak resmi dari masyarakat yang berupa celaan atau cemoohan.
Ketiga kaidah sosial tersebut dirasakan kurang memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia sehingga manusia berharap kepada kaidah hukum untuk dapat melindungi lebih lanjut kepentingan-kepentingannya. Kaidah hukum lebih ditujukan kepada sikap lahir manusia dan bukan sikap batinnya. Pada hakekatnya apa yang dibatin, yang dipikirkan manusia tidak menjadi soal asalkan secara lahiriah tidak melanggar kaidah hukum. Asal kaidah hukum dari kekuasaan luar diri manusia yang memaksakan (heteronom) dan masyarakat secara resmi diberi kuasa untuk menjatuhkan sanksi melalui alat-alat negara.
Jika kaidah keagamaan, kesusilaan dan kesopanan hanya memberikan kewajiban-kewajiban (normatif) saja maka kaidah hukum selain membebani kewajiban-kewajiban juga memberikan hak-hak (atributif). Menurut Satjipto Raharjo kaidah hukum merupakan resultan dari tegangan antara norma kesusilaan dengan norma kebiasaan. Norma kesusilaan bersifat ideal sedangkan norma kebiasaan bersifat empirik dan norma hukum berada diantara keduanya. Hukum sebagai disiplin ilmu mengarahkan sasaran studinya terhadap kaidah atau norma yang menghasilkan ilmu tentang kaidah hukum (norm wissenschaft), terhadap pengertian-pengertian dalam hukum yang menghasilkan ilmu tentang pengertian hukum (begriffen wissenschaft), dan terhadap kenyataan-kenyataan dalam hukum yang menghasilkan ilmu tentang kenyataan hukum (sein wissenschaft). Bedasarkan latar belakang masalah yang menunjukkan keterkaitan erat antara hukum dengan masyarakat beserta sistem nilainya yang berlaku dan mengingat pula hukum sebagai disiplin ilmu, maka yang menjadi permasalahn dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah aspek ontology, epistemologis dan aksiologis dari bangunan ilmu hukum, terutama dalam konteks keindonesiaan dengan pluralisme hukumnya terutama dalam menjawab permasalahan pornografi?


















BAB II
HAKEKAT HUKUM DAN MASALAH PORNOGRAFI

A. Hakekat Hukum kajian Ontologis
Disiplin ilmu hukum dalam mengarahkan sasaran studinya terhadap kaidah atau norma (norm wissenschaft), maka akan dapat dibedakan antara kaidah dalam arti yang luas dengan asas-asas hukum dan norma (nilai) yang merupakan kaidah dalam arti yang sempit, serta peraturan hukum kongkrit.. Kaidah dalam arti yang luas adalah rumusan pandangan masyarakat pada umumnya (bukan rumusan pandangan kelompok atau individu) tentang apa yang baik yang seharusnya diperbuat dan apa yang buruk yang seharusnya tidak diperbuat, sehingga berisi rumusan pandangan yang merupakan amar makruf nahi mungkar.
Asas-asas hukum merupakan peraturan atau pedoman yang bersifat mendasar tentang bagaimana seharusnya orang berperilaku dan pedoman tersebut berupa pikiran dasar yang tersirat, berlaku umum, abstrak, mengenal pengecualian-pengecualian dan merupakan persangkaan (presumption) serta bersifat ideal mengingat manusia akan menemukan cita-citanya dengan asas hukum rersebut dan bersifat dinamis. Norma atau kaidah dalam arti yang sempit adalah nilai yang dapat kita gali atau temukan dari peraturan hukum kongkrit, sedangkan peraturan hukum kongkrit sendiri berupa pasal-pasal suatu peraturan perundang-undangan.. Sebagai contoh peraturan hukum kongkrit adalah Pasal 362 KUHP, maka asasnya adalah asas legalitas, norma atau nilai yang dapat kita gali adalah bahwa perbuatan mencuri itu merupakan perilaku yang buruk sehingga dilarang untuk dilakukan.
Sasaran studi ilmu hukum terhadap pengertian pengertian (begriffen wissenschaft) tidak diarahkan untuk mencari pengertian dari hukum itu sendiri, melainkan mencari pengertian-pengertian dari konsep-konsep yang terdapat dalam hukum baik itu konsep dasar (fundamental) maupun konsep-konsep operasional sebagai tindak lanjut dari konsep dasar. Misalnya saja tentang pengertian dari konsep peristiwa hukum, hubungan hukum, subyek hukum, manusia sebagai subyek hukum, badan hukum, hak dan kewajiban serta demikian seterusnya yang kemudian secara sistematik bangunan pengertian-pengertian tersebut akan membentuk ilmu hukum.
Sasaran studi ilmu hukum terhadap kenyataan-kenyataan yang terjadi di masyarakat (sein wissenschaft) akan melahirkan ilmu-ilmu hukum baru yang bersifat empirik yaitu sejarah hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di masa lampau), sosiologi hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di masa kini), antropologi hukum (terkait dengan nilai-nilai budaya masyarakat), psikologi hukum dan perbandingan hukum (bukan merupakan ilmu namun hanya sekedar memperbandingkan hukum yang masih berlaku dengan metodenya functional approach).
Selain kaidah sebagai sasaran studi ilmu hukum, sistem hukum dan penemuan hukum juga menjadi sasaran yang penting untuk dikaji . Sistem hukum adalah tatanan yang utuh yang didalamnya terdapat unsure-unsur pembentuk sistem yang masing-masing saling berinteraksi untuk mewujudkan tujuan dari sistem, serta tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi dalam diri sistem, namun jika terjadi konflik maka akan diatasi oleh dan didalam sistem hukum itu sendiri.
Penemuan hukum adalah menemukan hukumnya atau peraturannya karena tidak jelas, tidak lengkap atau tidak ada. Ketidak jelasan peraturan akan digunakan metode interpretasi atau penafsiran dengan jalan menafsirkan bagian peraturan yang tidak jelas. Ketidaklengkapan atau ketiadaan peraturan hukum akan digunakan metode argumentasi baik argumentum peranalogiam maupun argumentum acontrario, serta metode konstruksi hukum (penyempitan maupun penghalusan hukum) serta metode fiksi hukum, yaitu apa yang ada dianggap tiada dan sebaliknya apa yang tiada dianggap ada.
Proklamasi Kemerdekaan Negara RI yang dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah berhasil mendobrak sistem hukum kolonial dan menggantinya dengan sistem hukum nasional. Terlepas pro dan kontra antara kubu yang berpendapat bahwa saat ini kita telah memiliki sistem hukum nasional sendiri dan kubu yang berpendapat bahwa kita belum memiliki sistem hukum nasional sendiri karena sistem hukum yang ada ini masih merupakan warisan atau kelanjutan dari sistem hukum kolonial, maka penulis berpendapat bahwa sistem hukum itu bersifat historisch bestimmt (dinamis terkait dengan aspek-aspek kesejarahannya dan terikat dengan dimensi waktu dan tempatnya). Kita tidak dapat membangun sistem hukum nasional yang sama sekali baru karena sistem hukum itu bersifat given dan sistem hukum nasional yang telah ada, yang merupakan kelanjutan dari sistem hukum kolonial secara step by step akan dilakukan perbaikan-perbaikan dan perobahan-perobahan serta penyempurnaan-penyempurnaan untuk diselaraskan dan diserasika dengan Grundnorm kita, karena semenjak kemerdekaan RI kita telah mempunyai Undang-Undang Dasar Negara sendiri yaitu UUD Negara RI Tahun 1945 yang di dalamnya memuat dasar Negara RI yaitu Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dan dalam hirarki peraturan perundang-undangan Negara RI menempati kedudukan sebagai grundnorm. Demikian pula dalam operasionalisasi peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang masih berlaku karena ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD Negara RI Tahun 1945, terutama dalam pelaksanaannya di lembaga peradilan, hakim-hakim Indonesia telah menyesuaikan peraturan-peraturan warisan kolonial Belanda yang berjiwa materialistik, kapitalistik dan individualistik tersebut dengan Pancasila yang berjiwa monodualistik (asas keseimbangan).
Plularisme hukum sudah dikenal di Indonesia sejak jaman kolonial Belanda. Bahkan dilegalkan dengan pasal 131 I.S. (Indische Statsregeling) yang berisi ketentuan bahwa di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) berlaku 3 macam sistem hukum perdata yaitu:
1. Hukum perdata barat (Eropa).
2. Hukum pertdata Islam.
3. Hukum perdata Adat.
Saat ini di masa kemerdekaan plularisme hukum tersebut masih merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dan dalam pembangunan hukum sekarang yang bercorak modern melalui peraturan perundang-undangan hukum barat, hukum adat maupun hukum Islam saling berebut pengaruh untuk mewarnai pembangunan hukum nasional tersebut dalam berbagai bidang melalui proses legislasi nasional.
Hukum barat yang bercorak kapitalistik dan individualistik memiliki dasar ontologis monisme yaitu materialisme,bahwa hakekat dari kenyataan yang ada yang beraneka ragam itu semua berasal dari materi atau benda yaitu sesuatu yang berbentuk dan menempati ruang serta kedudukan nilai benda/badan/materi adalah lebih tinggi daripada roh/sukma/jiwa/spirit.
Hukum Islam yang memberikan kostribusi terhadap pembangunan hukum nasional bukanlah hukum Islam yang bersifat universal yang meliputi peraturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif, melainkan sebatas hukum Islam yang menyangkut aspek keperdataan tertentu saja. Itulah yang menjadi hukum yang hidup (living law) dan selebihnnya seperti aturan-aturan yang menyangkut aspek peribadatan dan lain sebagainya masih belum menjadi hukum yang hidup dimasyarakat melainkan masih merupakan moral positif meskipun masyarakat telah menjalankan secara nyata dalam kehidupannya sehari-hari.
Dasar ontologis dari hukum Islam bersifat monisme yaitu idealisme atau spiritualisme, bahwa hakekat dari kenyataan yang ada yang beraneka ragam itu semua berasal dari roh/sukma/jiwa, yaitu sesuatu yang bersifat ghoib yang tidak berbentuk dan tidak menempati ruang serta kedudukan nilai roh adalah lebih tinggi daripada nilai benda/materi/badan.
Hukum adat yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan hukum nasional adalah hukum adat yang diketahui sepanjang masih merupakan hukum yang hidup(living law) dalam masyarakat dan yang masih sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Dasar ontologis dari hukum adat adalah bersifat dualisme bahkan pluralisme, apalagi dengan mengingat sifat hukum adat itu yang magis religius. Hakikat dari kenyataan yang ada sumber asalinya berupa baik materi maupun rohani yang masing-masing bersifat bebas dan mandiri dan bahkan segala macam bentuk merupakan kenyataan. Hal tersebut berkaitan erat dengan banyaknya wilayah atau daerah hukum adat (Rechtskringen) di Indonesia dan bahkan menurut catatan Van Vollen Hoven terdapat 19 daerah hukum adat, sehingga keberadaan hukum adat sendiri di Indonesia sudah bersifat pluralistik.

B. Masalah Pornografi
Problem hukum dan moralitas merupakan subyek perdebatan yang hangat dikalangan pengacara di Inggris, setelah adanya keputusan daro House of Lords dari kasus tuan Shaw melawan the Director of public Prosecution pada tahun 1962. tuan Shaw telah menyusun seuah brosur yang berjudul “ladies Director” yang mendaftar nama-nama dan alamat-alamat pelacuran termasuk fotografi telanjang dan petunjuk singkat dari praktekpraktek seksual mereka yang khusus.
Terlepas dari kesalahan karena menerbitkan artikel cabul, tuan Shaw juga dihukum karena pelanggaran bersekongkol merusak moral masyarakat. Ini merupaka formulasi pelanggaran terakhir yang dilakukan oleh para ahli hukum inggris yang mendorong adanya diskusi tentang pertanyaan-pertanyaan yang fundamental: apakah ini merupakan fungsi hukum untuk menyelenggarakan ukuran-ukuran moralitas konvensional dengan menghukum penyimpagan-penyimpangan darinya; khususnya dalam kasus imoralitas seksual secara pribadi yang tidak ada alasan merugikan atau melanggar orang lain.
Hukum islam memasukkan prinsip pelaksanaan moralitas seksual yang keras, hal itu menjelaskan tentang hukuman yang ditetapkan bagi pelanggaran zina. Menurut hukum ingris hubungan seksual di luar perkawinan bukan merupakan pelanggaran hukum kecuali kalau diperburuk oleh keadaan seperti tidak adanya ersetujuan antara keduanya, seorang gadis muda usia, ada hubungan darah dengan orang yang bersangkutan, atau tingkah laku yang tidak alami, sama dengan pelanggaran kriminal karena perkosaan, berzina dengan saudaranya, sodomi. Begitu juga hukum di indonesia. Yang mengatakan bahwa hubungan seksual antara laki-laki dan perenpuan yang keduanya atau salah satunya belum terikat tali perkawinan tidak dikatakan zina. Dilain pihak hukum islam menganggap hubungan seksual bentuk apapun adalah merupakan kejahatan kecuali kalau hal itu antara suami dan istri atau masa lalu antara tuan dan selir budaknya.
Dalam sumber material primer syariah Al-Qur’an, tidak ada pembedaan yang jelas dan konsisten antara moral dan peraturan hukum. Seperti rumusan etika dalam hukum islam, Al-Qur’an menetapkan masalah-masalah pokok untuk membedakan yang benar dari yang salah, baik buruk, pantas dan tidak pantas, atau biasanya hal itu tidak diteruskan pada tingkat skunder menyangkut norma-norma tingkah laku dengan konsekuensi hukum. Dalam beberapa kasus , memang benar , sanksi-hukum yang tepat dijatuhkan karena perbuatan atau kelalaian seperti hukuman dera (cambuk) bagi orang yang menfitnah secara serius, atau hukum potong tangan bagi pencuri.
Hidup dalam tatanan masyarakat yang aman, tenteram dan sejahtera merupakan dambaan setiap manusia, munculnya tindakan-tindakan amoral/ asusila merupakan konsekuensi dari globalisasi yang berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Fitrah manusia sebagai makhluk yang paling sempurna adalah makhluk yang bermoral dan mampu berprilaku susila/baik, karena telah dikaruniai akal sebagai bekal untuk berpikir dan bertidak dengan koridor-koridor yang menjadi acuan hidup berperilaku, baik yang merupakan aturan tingkah laku yang tak tertulis (Conduct Norm) maupun aturan yang telah disepakati sebagai hukum tertulis.
Namun demikian manusia sebagai makhluk yang sempurna juga memiliki nafsu yang ikut berperan mengarahkan atau mempengaruhi perilakunya sehingga ada kecenderungan manusia melakukan perbuatan-perbuatan ammoral/ tidak bermoral dan asusila/ tidak susila. Keberadaan akal dan nafsu dalam diri manusia tersebut menimbulkan suatu keadaan perilaku yang mengarah kepada perbuatan baik dan buruk seorang manusia. Manusia sebagai obyek bermuaranya dua faktor berpengaruh mengharuskan manusia mampu memilih dan mengarahkan setiap tindakan yang akan dilakukan agar tidak dikuasai oleh nafsu sebagai salah satu faktor berpengaruh dalam diri manusia. Idealnya manusia itu mampu menekan nafsunya menggunakan akal yang dimilikinya agar setiap perilakunya menjadikan perilaku yang bermoral dan terarah.
Harapan akan idealitas kehidupan terkadang tidak dapat terwujud manakala manusia dikuasai oleh nafsunya, sehingga manusia cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada tindakan yang tidak susila. Manusia diciptakan didunia selain sebagai makhluk personal juga sebagai makhluk sosial sehingga setiap perbuatan yang akan dilakukan harus juga memperhatikan kepentingan orang lain yang berada dilingkungannya.
Bangsa Indonesia sebagai salah satu unsur dari negara juga tidak pernah lepas dari perilaku yang dipengaruhi oleh nafsu, sehingga muncul perbuatan-perbuatan yang dianggap oleh berbagai kalangan sebagai perbuatan yang buruk. Fenomena pornografi dan pornoaksi misalnya, Tindakan pornografi dan pornoaksi dinilai memberikan andil besar atas kemerosotan moral bangsa Indonesia dari hari ke hari. Sebagaimana diberitakan Kantor Berita Associated Press (AP), Indonesia berada pada urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi .
Indonesia merupakan negara peringkat kedua di dunia setelah Swedia dalam peredaran majalah dan VCD pornografi dan pornoaksi, sehingga kedepannya akan berdampak buruk pada masyarakat luas. "Hasil penelitian Thomas Bombadil dari British National Party memaparkan 77% pelaku sodomi dan 87% pemerkosa perempuan adalah mereka yang secara rutin berhubungan dengan materi pornografi, baik bacaan maupun tayangan," kata Asisten Deputi Kerukunan, Menkokesra Razali Hamzah SH di Denpasar. Di sela-sela kegiatan rapat koordinasi pencegahan pornografi dan pornoaksi itu ia mengatakan, didukung juga data hasil survei Center for Human Resources Development FISIP Univesitas Airlangga juga menemukan 56,5% kalangan remaja usia 15-19 tahun yang menjadi mayoritas penonton film porno.selanjutnya dia juga mengungkapkan bahwa,,"Dampak dari pornografi diantaranya kecanduan untuk menikmati tayangan pornografi membuat orang kehilangan penguasaan diri, meningkatkan nafsu liar, di mana orang menjadi tidak puas dengan hubungan seksual yang normal dan masuk dalam pornografi yang semakin brutal, biasanya guna mendapatkan sensasi dan gairah yang sama" .
Selain itu juga hilangnya kepekaan moral seperti perasaan menjijikkan, amoral dan menyesatkan, namun menikmatinya sebagai tayangan yang dapat diterima serta mulai memandang orang lain sebagai obyek. Pada prinsipnya semua pihak sepakat bahwa pornografi dan pornoaksi yang tersebar dewasa ini, tanpa ada pengontrolan yang baik akan berdampak pada generasi muda, Hal itu tidak bisa dipungkiri seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) kegiatan yang menjurus ke hal itu juga ikut berkembang. Sebab perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat dan mengalir ke rumah tangga tanpa batas.
Pro dan kontra berkaitan dengan pengaturan tindakan pornografi dan pornoaksi ini, merupakan permasalahan pula bagi negara untuk dapat mewujudkan peraturan perundang-undangan mengenai pornografi dan pornoaksi. Yang kontra terhadap pengaturan pornografi dan pornoaksi beralasan bahwa, masalah pornografi tidak dapat diatur dalam UU karena akan menimbulkan ketegangan sosial dan mengancam kreativitas serta negara tidak memiliki hak untuk ikut mencampuri urusan personal/individual warga masyarakatnya. Sebaliknya, beberapa kalangan, mulai para ulama, da’i, ibu-ibu rumah tangga dan para pendidik sangat berharap terhadap pengesahan dan pemberlakuan UU Anti pornografi dan Pornoaksi. Mereka meyakini dengan pemberlakukan UU ini akan memberi kekuatan hukum dalam mencegah meluasnya aksi-aksi pornografi dan pornoaksi .
Peneltian secara komprehenshif terhadap permasalahan hubungan moralitas dan hukum khususnya yang berkiatan dengan fenomena pornografi belum banyak dilakukan, sehingga muncul dugaan-dugaan serta perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan masyarakat berkaitan pentingnya sarana hukum untuk mengatur moralitas bangsa. Indonesia sebagai negara hukum memberikan konsekuensi bahwa hukum sebagai sarana mengatur dan mengotol masyarakat diharapkan benar-benar memiliki andil agar moralitas bangsa menjadi baik. Selain itu hukum juga harus mampu memberika kemanfaatan dan keadilan bagi masyarakat.
Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa indonesia harus dijadikan rujukan dalam mewujudkan peraturan perundangan. Dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum, sebagai suatu negara hukum, didalamnya terdapat sejumlah peraturan prundang-undangan/hukum yang keseluruhan merupakan satu kesatuan yang terseusun secara tertib hukum.(Legal Order atau Rechtsodnung). Suatu tertib hukum akan terlihat sebagai suatu bangunan yang tersusun secara hirearkis, atau tertib hukum derajat/tertib tingkat, dimana dalam susunan tersebut terdapat hukum yang berperan sebagai dasar dan sumber dari segala sumber hukum negara
Pertanyaan apa sebenarnya pornografi dan pornoaksi itu? Tidak dapat segera dapat dijawab dengan mudah, oleh karena sampai saat ini tidak ada kesepakatan mengenai pengertian pornografi dan pornoaksi. Sebagai gambaran tentang beberapa pendapat yang mencoba memberikan pengertian pornografi dan pornoaksi.
Pornografi berasal dari bahasa yunani, istilah ini terdiri dari kata porne yang berarti wanita jalang dan graphos atau graphien yang berarti gambar atau tulisan, pornografi menunjuk pada gambar atau photo yang mempertontonkan bagian-bagian terlarang tubuh perempuan. Pengertian ini secara eksplisit menunjukan bahwa term pornografi selalu dan hanya berkaitan dengan tubuh perempuan. Padahal menurut Yahya S Hamid obyek pornografi sendiri tidak hanya berkutat pada wilayah tubuh seorang perempuan, melainkan juga pada pria maupun waria, dan bahkan binatang juga termasuk di dalamnya.
Konteks Indonesia, kata porno berubah menjadi cabul, sementara istilah pornografi sendiri diartikan sebagai bentuk “penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan untuk membangkitkan nafsu birahi” atau “bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks” dalam Terminologi Hukum, pornogarfi diartikan sebagai barang cetak atau film yang mengungkapkan masalah-masalah seksual kotor.
Selanjutnya pengertian tentang pornografi adalah tulisan atau materi visual apapun yang menggambarkan ketelanjangan dan / atau aktifitas seksual yang dapat meningkatkan gairah seksual. Namun, tidak semua deskripsi atau gambar-gambar telanjang, organ-organ seksual, dan aktifitas seksual (seperti yang ditemukan didalam materi pendidikan atau buku-buku medis) merupakan pornografi. Sesuatu disebut pornografi tergantung pada pemahaman makna materi-materi tersebut yang meningkatkan gairah seksual.
Menurut jeff olson ada dua bentuk yang paling umum dari produksi dan konsumsi pornografi, yaitu: “soft core” dan “hard core” yaitu:
1. pornografi soft core adalah pornografi yang menggambarkan wanita telanjang atau wanita yang berpakaian minim yang menunjukkan payudara dan bagian intim wanita, namun tidak menunjukan hubungan seksual.
2. pornografi hard core adalah menggambarkan bentuk-bentuk hubungan seksual (dipaksa dan tidak dipaksa ) antara dua orang atau lebih.

Perbincangan tentang pornografi selalu terkait dengan pornoaksi, meskipun bukan dalam hubungan sebab-akibat. Dalam beberapa literatur ditemukan definisi tentang pornoaksi. Menurut Burhan Bungin, pornoaksi merupakan suatu penggambaran aksi gerakan, lenggokan, liukan tubuh yang tidak sengaja atau sengaja untuk memancing bangkitnya nafsu seksual laki-laki. Pada awalnya, pornoaksi adalah aksi-aksi obyek seksual yang di pertontonkan secara langsung oleh seseorang kepada orang lain, sehingga menimbulkan histeria seksual dimasyarakat.
Devinisi-devinisi di atas menunjukan bahwa sebenarnya persoalan pornografi dan pornoaksi merupakan persoalan yang masih selalu diperdebatkan sehingga tidak ada kesatuan atau kesepakatan devinisi pornografi dan pornoaks tersebut, namun dalam hal ini penulis mencoba memberikan pengertian pornografi dan pornoaksi.
Pornografi adalah materi baik berupa tulisan atau gambar yang dengan sengaja maupun tidak sengaja di buat atau dirancang dengan tujuan untuk membangkitkan nafsu birahi/ seks. Namun dikecualikan untuk tulisan atau gambar yang dirancang untuk keperluan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Sedangkan pornoaksi dapat penulis devinisikan sebagai tindakan penggambaran dalam bentuk gerakan, liukan tubuh yang dapat membangkitkan nafsu birahi/seks.













BAB III
PENDEKATAN ALTERNATIF ATAS PERMASALAHAN PORNOGRAFI

A. Kriminalisasi Pornografi di Indonesia
Pornografi berasal dari bahasa yunani, istilah ini terdiri dari kata porne yang berarti wanita jalang dan graphos atau graphien yang berarti gambar atau tulisan, pornografi menunjuk pada gambar atau photo yang mempertontonkan bagian-bagian terlarang tubuh perempuan. Pengertian ini secara eksplisit menunjukan bahwa term pornografi selalu dan hanya berkaitan dengan tubuh perempuan. Padahal menurut Yahya S Hamid obyek pornografi sendiri tidak hanya berkutat pada wilayah tubuh seorang perempuan, melainkan juga pada pria maupun waria, dan bahkan binatang juga termasuk di dalamnya.
Konteks Indonesia, kata porno berubah menjadi cabul, sementara istilah pornografi sendiri diartikan sebagai bentuk “penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan untuk membangkitkan nafsu birahi” atau “bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks” dalam Terminologi Hukum, pornogarfi diartikan sebagai barang cetak atau film yang mengungkapkan masalah-masalah seksual kotor.
Selanjutnya pengertian tentang pornografi adalah tulisan atau materi visual apapun yang menggambarkan ketelanjangan dan / atau aktifitas seksual yang dapat meningkatkan gairah seksual. Namun, tidak semua deskripsi atau gambar-gambar telanjang, organ-organ seksual, dan aktifitas seksual (seperti yang ditemukan didalam materi pendidikan atau buku-buku medis) merupakan pornografi. Sesuatu disebut pornografi tergantung pada pemahaman makna materi-materi tersebut yang meningkatkan gairah seksual.
Menurut jeff olson ada dua bentuk yang paling umum dari produksi dan konsumsi pornografi, yaitu: “soft core” dan “hard core” yaitu:
3. pornografi soft core adalah pornografi yang menggambarkan wanita telanjang atau wanita yang berpakaian minim yang menunjukkan payudara dan bagian intim wanita, namun tidak menunjukan hubungan seksual.
4. pornografi hard core adalah menggambarkan bentuk-bentuk hubungan seksual (dipaksa dan tidak dipaksa ) antara dua orang atau lebih.
Perbincangan tentang pornografi selalu terkait dengan pornoaksi, meskipun bukan dalam hubungan sebab-akibat. Dalam beberapa literatur ditemukan definisi tentang pornoaksi. Menurut Burhan Bungin, pornoaksi merupakan suatu penggambaran aksi gerakan, lenggokan, liukan tubuh yang tidak sengaja atau sengaja untuk memancing bangkitnya nafsu seksual laki-laki. Pada awalnya, pornoaksi adalah aksi-aksi obyek seksual yang di pertontonkan secara langsung oleh seseorang kepada orang lain, sehingga menimbulkan histeria seksual dimasyarakat.
Devinisi-devinisi di atas menunjukan bahwa sebenarnya persoalan pornografi dan pornoaksi merupakan persoalan yang masih selalu diperdebatkan sehingga tidak ada kesatuan atau kesepakatan devinisi pornografi dan pornoaks tersebut, namun dalam hal ini penulis mencoba memberikan pengertian pornografi dan pornoaksi.
Dampak-dampak serta fakta-fakta yang mungkin dapat dijadikan dasar berpijak sebelum membahas apakah kriminalisasi terhadap pornografi dan pornoaksi ini sudah sangat urgen?.Hasil penelitian Thomas Bombadil dari British National Party memaparkan 77% pelaku sodomi dan 87% pemerkosa perempuan adalah mereka yang secara rutin berhubungan dengan materi pornografi, baik bacaan maupun tayangan.
Asisten Deputi Kerukunan, Menkokesra Razali Hamzah SH di Denpasar. Di sela-sela kegiatan rapat koordinasi pencegahan pornografi dan pornoaksi itu ia mengatakan, didukung juga data hasil survei Center for Human Resources Development FISIP Universitas Airlangga juga menemukan 56,5% kalangan remaja usia 15-19 tahun yang menjadi mayoritas penonton film porno. selanjutnya beliau juga mengungkapkan bahwa, Dampak dari pornografi diantaranya kecanduan untuk menikmati tayangan pornografi membuat orang kehilangan penguasaan diri, meningkatkan nafsu liar, di mana orang menjadi tidak puas dengan hubungan seksual yang normal dan masuk dalam pornografi yang semakin brutal, biasanya guna mendapatkan sensasi dan gairah yang sama".
Hal yang telah disampaikan di atas hanya sebagian kecil, dari sejumlah kasus yang terjadi yang disebabkan oleh maraknya pornografi dan pornoaksi di Indonesia, namun ini cukup memberikan gambaran kepada kita bahwa pornografi dan pornoaksi memiliki dampak buruk, bahkan nyaris tidak ada dampak positifnya. Sehingga dari gambaran di atas tidak berlebihan jika persoalan pornografi dan pornoaksi perlu mendapatkan perhatian serius.
Terhadap persoalan mendasar apakah urgensi kriminalisasi tindakan pornografi dan pornoaksi, dalam kacamata politik hukum pidana dapat dikemukakan analisis sebagai berikut:
1. Bahwa suatu kejahatan atau tindak pidana selain merupakan masalah kemanusiaan juga merupakan permasalah sosial, bahkan dinyatakan sebagai The oldest social problem. Menghadapi masalah ini, dalam sejarah peradapan manusia telah banyak dilakukan berbagai upaya (kebijakan rasional) untuk menanggulanginya. Kebijakan rasional menanggulagi kejahatan inilah yang populer disebut dengan politik kriminal. Konggres PBB ke-6 tentang The Prevention of crime and the treatment of offender di Jenewa Swiss tahun 1981 hingga konggres ke-9 tentang hal yang sama di Havana Cuba tahun 1990, ditegaskan bahwa kebijakan menanggulangi suatu kejahatan hendaknya dilihat sebagai bagian dari keseluruhan kebijakan sosial. Mengingat kebijakan menanggulangi kejahatan tidak akan banyak artinya jika kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan itu sendiri justru menimbulkan faktor-faktor Criminogen dan Victimogen. Selain itu ditegaskan pula bahwa upaya menanggulangi kejahatan haruslah dilakukan secara terpadu (integral) antara penggunaan sarana Penal (membuat serta menegakkan aturan hukum pidana) dengan sarana non penal (pendekatan selain hukum pidana misalnya politik, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain). Hal ini mengingat selain kebijakan penanggulangan kejahatan bukanlah semata-mata masalah hukum pidana, juga karena huku pidana sendir hakekatnya memiliki batas-batas kemampuan.
2. Dilihat dari segi sifatnya yang represif dan bobot sanksinya yang paling berat dibanding bidang hukum lain, maka dalam doktrin dikenal ajaran bahwa hendaknya fungsionalisasi hukum pidana benar-benar harus mempertimbangkan asas Ultimum Remidium. Artinya huku pidana mestinya diterapkan sebagai sarana terakhir setelah mempertimbangkan sanksi yang diberikan melalui bidang hukum lain atau melalui optimalisasi kaidah sosial lainnya dipandang tidak cukup berhasil dalam mengatasi (mencegah dan menanggulangi) masalah sosial yang dihadapi. Asas Ultimum Remidium ni penting, tidak hanya dierhatikan pada waktu melakukan kriminalisasi saja tetapi juga pada saat menerapan undang-undang itu sendiri dalam praktek penegakan hukum. Secara lebih rinci Muladi dan Barda Nawawi Arif menjelaskan bahwa konsep penggunaan undang-undang hukum pidana berdasarkan asas ltimum remidium tersebut maknanya adalah sebagai berikut:
a. Jangan menggunakan hukum pidana secara emosional untuk melakukan pembalasan semata,
b. Hukum pidana pun hendaknya janga digunakan untuk memidana perbuatan yang tidak jelas korban atau kerugiannya,
c. Hukum pidana jangan pula dipakai hanya untuk suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penggunaan hukum pidana tersebut,
d. Jangan menggunakan hukum pidana apabila hasil sampaingan (by Product) yang ditimbulan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan dikriminalisasikan,
e. Jangan pula menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat, dan kemudian janganlah menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya diperkirakan tidak dapat efektif (unforceable),
f. Penggunaan hukum pidana pun hendaknya harus menjaga keserasian anara moralis komunal, moralis kelembagaan dan moralis sipil, serta memperhatikan pula korban kejahatan,
g. Dalam hal-hal tertentu hukum pidana harus mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan,
h. Dan akhirnya penggunaan hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana pencegahan yang bersifat no penal (Prevention without punishment).
Bertolak dari penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa dalam menghadapi suatu problem sosial bernama kejahatan, solusi berupa kebijakan dengan membuat dan menggunakan aturan hukum pidana untuk menanggulanginya pada prinsipnya tidak ada yang salah (sah-sah saja). Sepanjang kebijakan tersebut masih dalam koridor doktrin hukum pidana sebagai Ultimum Remidium.
3. Berkaitan dengan pemerintah untuk mengkriminalisasikan pornografi , pertanyaan yang muncul adalah apakah perumusan undang-undang sudah memenuhi doktrin ultimum remidium? Sehubungan dengan hal ini maka perlu dicermati hal-hal sebagai berikut:
a. Bahwa fenomena maraknya pornografi dan pornoaksi dengan segala bentuk dampak yang ditimbulkan adalah fakta yang tak terbantahkan. Kasus VCD “Bandung Lautan Asmara”, Casting Iklan Sabun Mandi, Artis ganti pakaian, yang melibatkan “korban” beberapa artis seperti sarah ashari, rachel maryam, femmy permatasari dan lain sebagainya, beredar bebasnya sejumlah tabloit atau koran beraliran “Syur” yang mengumbar gambar-gambar model dengan pose seronok, berita-berita seperti perzinaan, pelecehan seksual bahkan perkosaan yang ramai menghiasi media masa akhir-akhir ini, dengan pengakuan yang sangat mengejutkan bahwa mereka melakkan perbuatan itu karena setelah habis menonton VCD porno atau sehabis melihat pertunjukan yang berbau pornoaksi. Ini hanyalah sekedar contoh sekaligus indikasi yang menunjukkan betapa sangat memprihatinkannya dan seolah tidak dapat dikendalikan lagi fenomena pornografi dan pornoaksi di Indonesia. Dalam kondisi demikian, maka masalah moralitas bangsa ke depan tentu menjadi taruhannya.
b. Semetara itu, upaya untuk menanggulanginya dengan pendekatan moral susila keagamaan (seperti yang terlihat dengan tumbuh suburnya berbagai majlis ta’liem maupun publikasi dan sosialisasi nila-nilai budi luhur warisan budaya bangsa yang mengkritik dan mencela fenomena pornografi dan pornoaksi tersebut) dalam kenyataannya tampak berlalu saja tanpa hasil yang berarti. Pengajian hanya merupakan kegiatan rutin keagamaan dan nilai-nilai budaya pun seolah-olah hanya bernasib sebagai warisan yang tidak diminati oleh generasi sekarang. Budaya trend dengan penampilan yang pornoaksi tampak lebih menjadi panutan. Ini fakta sehari-hari yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Dan benar-benar agama, serta nilai budaya nyaris tak berdaya.

B. Pendekatan dalam Kriminalisasi Tindakan Pornografi
Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat juga diartikan sebagai politik kriminal, Politik kriminil atau kebijakan penanggulangan kejahatan tersebut dapat mencakup ruang lingkup yang luas, ini berarti, politik kriminil dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana.
Sebagaimana dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan tindak pidana (Criminal Policy) dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara yaitu:
1. Crininal Law Aplication;
2. Prevention Without Punishment;
3. Influencing Views of society on crime and punishment.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam yaitu kebijakan penangulangan tindak pidana dengan mengunakan sarana hukum pidana (Penal Poicy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunkan sarana diluar hukum pidana (Non Penal Policy). Pada dasarnya Penal Policy menitikberatkan pada tindakan refresif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif setelah terjadinya tindak pidana. Menurut pandangan dari sudut politik criminal secara makro, non penal policy merupaan kebijakan penangulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu dikarenakan, non penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran utama non penal Policy adalah menangani dan menghapuskan factor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (Penal Policy) dikenal dengan istilah “kebijakan Hukum Pidana” atau “politik hukum pidana” Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana (Penal Policy)merupakan suat ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan pratis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang. Kebijakan hukum pidana tersebut merupakan salah satu komponen dari Modern Criminal sciene di samping Criminology dan Criminal Law.
Penal Policy atau politik (kebijakan) hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif) kebijakan aplikasi (Kebijakan Yudikatif) dan pelaksanaan hukum pidana (Kebijakan Eksekutif). Kebijakan legislative merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain, perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini berarti menyangkut proses kriminalisasi. Kriminalisasi, menurut soedarto merupakan proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Tindakan itu diancam dengan terbentuknya undang-undang dengan suatu sanksi berupa pidana.
Kaitannya dengan hal ini, Barda Nawawi Arif menyatakan, “kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulanga kejahatan”. Sedangkan Pengertian penanggulangan kejahatan menurut Mardjono Reksodipoetro adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Selanjutnya Barda Nawawi Arif mengatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakekatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum pidana. Oleh karena itu politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undanganan pidana yang merupakan bagian integral dari politik social. Politik social tersebut menurut Barda dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.
Permasalahan pornografi dan pornoaksi bukanlah permasalahan yang sederhana sehingga memerlukan keseriusan serta kebijakan yang mampu meminimalisir perbedaan pendapat, hal ini dikarenakan bahwa, di indonesia terjadi pro dan kontra berkaitan penanggulangan pornografi dan pornoaksi ini, yang mana masing-masing pihak yang pro dan kontra tetap mempertahankan argumentasi masing-masing.
Negara sebagai organisasi pemerintahan yang memiliki peran utama guna menanggulangi pornografi dan pornoaksi seyogyanya memilik strategi yang efektif. Yang diharapkan dengan tindakan baik represif maupun prefentif dengan tanpa mengabaikan pendapat-masing-masing yang pro dan kontra sebagai wujud dari negara demokrasi.
Upaya Negara dalam menanggulangi tindakan pornografi dan pornoaksi jika dilihat dari kebijakan yang ada dapatlah dikatakan bahwa Negara sebenarnya sudah mengambil strategi penanggulangan pornografi dan pornoaksi dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), hal ini dapat ditunjukkan dengan munculnya undang-undang pornografi.
Namun demikian strategi penanggulangan pornografi dan pornoaksi yang dilakukan oleh Negara menggunakan hukum pidana bukanlah sesuatu yang mudah, karena kriminalisasi terhadap perbuatan pornografi dan pornoaksi terjadi pro dan kontra, yang semua tetap teguh pada argumentasinya masing-masing.
Pro dan kontra seputar pornografi ini berada pada tataran substansi dari isi rancangan-undang-undang anti pornografi dan pornoaksi. Namun menurut penulis bahwa sebenarnya argumentasi masing-masing yang pro dan yang kontra terakadang lebih mengedepankan emosi sehingga semakin memperkeruh persoalan.
Terlepas dari strategi negara dalam rangka mengkriminasilasikan tindakan pornografi dan pornoaksi tersebut, penulis berusaha memberikan solusi dalam rangka meminimalisasi permasalahan pro dan kontra UU Pornografi. Menurut penulis, permasalahan pro dan kontra pornografi tidak terlepas dari persoalan nilai yang berusaha dibangun oleh masing-masing pihak. Pihak yang pro berada pada tataran nilai etika dan moral sedangkan yang pro berada pada tataran nilai estetika dan hak asasi manusia (HAM).
Perbedaan paradigma tentang nilai inilah sebenarnya merupakan pertarungan ideologi mana masing-masing mempertahakan kebenaran ideologinya masing-masing. Sehingga berlanjut menjadi satu permasalahan yang selalu muncul diberbagai sektor, baik sektor ekonomi bisnis, politik, hukum dan lain-lain. Pro dan kontra diberbagai sektor ini sebaiknya pemerintah menyikapi dengan arif dan bijaksana dengan mencari titik kompromi sehingga perbedaan serta perselishan mampu diselesaikan.
Tindakan pemerintah dalam mencari titik kompromi ini memerlukan strategi agar dapat berhasil. Persoalan pornografi dan pornoaksi tersebut menurut hemat penulis pro dan kontra lebih banyak berada pada tataran seni dan kreatifitas yang berada pada nilai estetika dan bisnis dengan kepatutan dan kesopanan pada nilai etika dan moral. Sehingga negara dalam mencari titik kompromi guna mewujudkan undang-undang yang membatasi tindakan pornografi dan pornoaksi memerlukan strategi dengan melihat akar persoalan tersebut.
Strategi yang harus dilakukan adalah dengan meminta kedua belah pihak untuk menyampaikan masukan kepada pemerintah berkaitan dengan hal ini. Selanjutnya negara dalam hal ini pemerintah dalam hal ini legislatif sebagai seorang formulator harus memasukkan kedua nilai tersebut dengan cara mengambil salah satu nilai yang dijadikan paradigma perumusan undang-undang dengan juga memperhatikan nilai yang lainnya. Dua nilai dalam perdebatan tersebut adalah nilai estetika dan etika, dimunculkan salah satu nilai tersebut menjadi paradigmanya misalnya nilai etika yang dimunculkan sebagai paradigma namun tanpa harus memasung nilai kreatifitas. Atau sebaliknya nilai estetika yang dijadikan paradigmanya namun estetika dan kreatifitas sebagai paradigma jangan sampai melanggar etika moral yang menjadi conduct norm atau aturan tingkah laku.
Jika kompromi dangan cara tersebut belum berhasil, maka diperlukan sikap tegas dan keberanian pemerintah untuk mengambil sikap memilih salah satu paradigma dengan mencari dampak buruk yang terkecil. Namun sebenarnya hasil pertemuan yang sering dilakukan di lembaga legislatif lebih banyak yang pro atau mendukung segera disahkanya RUU PP sebagai undang-undang dibandingka dengan yang kontra. Dengan alasan itu sebenarnya negara sudah dibenarkan untuk mengambil kebijakan. Perbedaan pasti akan tetap muncul, yang perlu dipahami adalah bahwa suara mutlak tidak akan pernah terjadi di negara dengan sistem demokrasi. Sehingga perlu dilakukan pengambilan kebijakan dengan berdasarkan suara mayoritas.
BAB IV
KEBIJAKAN PENAL DALAM MASALAH PORNOGRAFI

Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat juga diartikan sebagai politik kriminal, Politik kriminil atau kebijakan penanggulangan kejahatan tersebut dapat mencakup ruang lingkup yang luas, ini berarti, politik kriminil dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana.
Sebagaimana dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan tindak pidana (Criminal Policy) dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara yaitu:
4. Crininal Law Aplication;
5. Prevention Without Punishment;
6. Influencing Views of society on crime and punishment.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam yaitu kebijakan penangulangan tindak pidana dengan mengunakan sarana hukum pidana (Penal Poicy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunkan sarana diluar hukum pidana (Non Penal Policy). Pada dasarnya Penal Policy menitikberatkan pada tindakan refresif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif setelah terjadinya tindak pidana. Menurut pandangan dari sudut politik criminal secara makro, non penal policy merupaan kebijakan penangulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu dikarenakan, non penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran utama non penal Policy adalah menangani dan menghapuskan factor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (Penal Policy) dikenal dengan istilah “kebijakan Hukum Pidana” atau “politik hukum pidana” Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana (Penal Policy)merupakan suat ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan pratis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang. Kebijakan hukum pidana tersebut merupakan salah satu komponen dari Modern Criminal sciene di samping Criminology dan Criminal Law.
Penal Policy atau politik (kebijakan) hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif) kebijakan aplikasi (Kebijakan Yudikatif) dan pelaksanaan hukum pidana (Kebijakan Eksekutif). Kebijakan legislative merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain, perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini berarti menyangkut proses kriminalisasi. Kriminalisasi, menurut soedarto merupakan proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Tindakan itu diancam dengan terbentuknya undang-undang dengan suatu sanksi berupa pidana.
Kaitannya dengan hal ini, Barda Nawawi Arif menyatakan, “kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulanga kejahatan”. Sedangkan Pengertian penanggulangan kejahatan menurut Mardjono Reksodipoetro adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Selanjutnya Barda Nawawi Arif mengatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakekatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum pidana. Oleh karena itu politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undanganan pidana yang merupakan bagian integral dari politik social. Politik social tersebut menurut Barda dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.
Nilai-nilai normative yang dijadikan dasar acuan untuk penanggulangan pornografi merupakan peraturan perundang-undangan. Sebagai bentuk kebijakan penal penanggulangan pornografi di ndonesia didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum UU pornografi maupun undang-undang pornografi itu sendiri.
Peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum lahirnya undang-undang pornografi yang memungkinkan dijadikan dasar acuan penanggulangan pornografi adalah:
a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terutama yang berkaitan dengan ketentuan mengenai delik kesusilaan sebagaimana terdapat dalam pasal 281, 282, 283, 532, 533, 534 dan pasal 535.
b. UU No. 40/1999 tentang Pers terutama yang berkaitan dengan ketentuan pasal 5 ayat (1) yang berbunyi “pers nasional berkewajiban memberitakan eristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”. Dan ketentuan pasal 13 huruf a yang menegaskan: “pers nasional dilarang memuat pemberitaan atau iklan yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat”.
c. Kode etik jurnalistik terutama yang berkaitan dengan ketentuan pasal 2 angka 2 huruf c yang menegaskan bahwa wartawan Indonesia tidak menyiarkan hal-hal yang dapat menyinggung perasaan susila, agama, kepercayaan atau keyakinan seseorang atau suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang.
d. UU No. 27 Tahun 2002 Tentang Penyiaran terutama yang berkait dengan ketentuan pasal 36 yang antara lain pada ayat (1) menegaskan bahwa isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hibuan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan seta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Sedangkan pada ayat (5 huruf b) melarang tegas isi siaran yang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, pejudian, penyelahgunaan narkotika dan obat terlarang.
Berkaitan dengan efektifitas dari peraturan perundang-undangan tersebut di atas memang masih belum dapat berlaku efektif karena hal tersebut terbukti dengan masih maraknya tindakan pornografi dan penyebaran pornografi di Indonesia, melihat kenyataan masih maraknya pornografi di masyarakat mengharuskan Negara mengambil kebijakan penanggulangan pornografi dalam bentuk kebijakan penal dengan disahkannya Undang-undang Nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi.
Undang-undang tersebut merupakan acuan normative dalam melakukan penanggulangan terhadap pornografi di Indonesia. Memang dalam prakteknya belum dapat dilihat ekektifitasnya namun dasar yang paling tepat dalam melakukan penanggulangan adalah Undang-unddang nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi.


















BAB V
KESIMPULAN

Ilmu hukum sebagai sebuah kajian sarat akan nilai-nilai moral sehingga pada setiap praktek penegakan hukum selalu mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat yang terkait dengan nilai-nilai moralitas, permasalahan pornografi merupakan fenomena yang harus disikapi dengan arif, karena hal ini terkait dengan permasalahan nilai moralitas dan budaya bangsa. Pro dan kontra terhadap permaalahan pornografi merupakan bukti adanya kepedulian bangsa Indonesia terhadap nilai-nilai moralitas dan hak asasi manusia.
Namun demikian permasalahan pornografi sudah demikian komplek sehingga pemerintah harus menentukan alternative penyelesaian masalah tersebut, kebijakan yang diambil Negara dalam hal ini adalah kebijkan penal yaitu kebijakan dengan menggunakan peraturan perundang-undangan. Sehingga pemerintah mengesahkan RUU menjadi undang-undang yakni UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi yang dijadikan acuan normative penyelesaian permasalahan pornografi.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kholiliq. AF. RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Politik Hukum Pidana, Makalah diskusi panel bertema “membahas RUU APP Secara akademik dan proporsional. Diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Hukum dasar bekerja sama dengan Departemen hukum pidana UII, Yogyakarta Tanggal 16 maret 2006.
A.Muktie Fadjar.2007, Aspek-Aspek Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis Kefilsafatan Ilmu (Hand Out Mata Kuliah Filsafat Ilmu PDIH Unibraw ), Malang
A Rasyid.1991, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers
Barda Nawawi Arif,2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung : Citra Aditya Bakti
-------------------------, Upaya non penal dalam kebijakan penanggulangan kejahatan, Makalah seminar Nasional kriminologi VI, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang tangal 16-18 september 1991
Benedict A. Alper, Changing Concept of crime and criminal Policy, Resource Material Series No. 7, Tokyo: UNAFEI, 1973
Bungin Burhan, 2005, Pornomedia, Sosiologi Media, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks di Media Massa, Jakarta: Kencana
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,1998,Jakarta
G Peter Hoefnagels, 1973,The Other Side of Criminology, Kluwer Deventer Holland
H.L.A., Law; Liberty, and Morality (London: Oxford University Press, 1963)
Jeff Olson, 1999, Lepas Dari Jerat Pornografi ( Seri Pemulihan Diri),Yogyakarta: Yayasan Gloria
John Z Loudoe.1985, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, Jakarta:PT Bina Aksara
Jujun S Suriasumantri.1990, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Hara Pan
J.M. Van Bemmelen, Hukum Pdana I: Hukum pidana materiel bagian umum (terjemahan), Bandung: Bina Aksara
Mac Ancel, 1965, Social Defence, AModern Approach to Criminal Problems, London: Rautledge
Mardjono Reksodipoetro,1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi), Jakarta: Universitas Indonesia.
Muladi dan Barda Nawawi Arif1992, , Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni
Moch Fatich, TT, Aspek ontologism, epistimologis dan aksiologis dari bangunan ilmu hukum, makalah,
Musthafa Kamal Pasha Et all 2003, , Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis dan Filosofis, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri
Paul Scholten., Mr.C.Assers, Hanleiding Tot De Beofening Van Het Nederlandsch Burgerlijk Recht : Algemeen Deel (Edisi terjemahan Bahasa Indonesia oleh Siti Sumarti Hartono), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Satcipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Siti Sumarti Hartono.1989, Penemuan Hukum dari Montesque sampai Paul Scholten, Majalah Mimbar Hukum FH UGM Jogyakarta No.8/I/1989
Sudarto,1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Bandung: Sinar Baru
Sudikno Mertokusumo, 1999, MengenalHukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty
Teguh Prasetya dan Abdulhalim Barkhatullah,2005, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), Yogyakarta:Pustaka Pelajar
(Zubaedi, Artikel “UU Porngrafi Perlukah?, www.google.com)
Yahya S Hamid, (www.dwp.or.id)
http://www.kapanlagi.com/h/0000127902.html).
Republika 17 Juli 2003